Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan agar sejumlah produk ekspor bisa dibebaskan dari tarif tinggi Amerika Serikat (AS), yang mulai hari ini resmi berlaku sebesar 19%. Negosiasi terus dilakukan dengan target utama agar komoditas yang tidak diproduksi oleh Negeri Paman Sam bisa mendapat perlakuan khusus berupa tarif 0%.
"Kan masih ada berunding yang lain lagi, yang kita usahakan saja dapat 0%. Itu sampai 1 September, rencananya ya," ujar Menteri Perdagangan Budi Santoso saat ditemui di kantornya, Kamis (7/8/2025).
AS diketahui resmi menerapkan tarif impor sebesar 19% terhadap barang asal Indonesia mulai Kamis ini. Pemberlakuan ini merupakan kelanjutan dari kebijakan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump yang sebelumnya sempat mengusulkan tarif hingga 32%.
"Iya, iya (tarif impor 19% dari Trump berlaku 7 Agustus 2025). Ya kan itu 7 hari setelah tanggal 31 kan. Ya berarti hari ini (7 Agustus 2025)," ujarnya.
Namun, Budi menekankan bahwa pemerintah Indonesia masih diberi ruang untuk negosiasi lanjutan oleh pemerintah AS, serupa dengan skema sebelumnya yang berhasil menurunkan tarif dari 32% menjadi 19% setelah masa transisi tiga bulan dengan tarif sementara sebesar 10%.
"Waktu pertama, (Indonesia) dikenakan 32% terus diundur 3 bulan kan, yang berlaku hanya baseline 10%. Kan sambil berunding kan akhirnya kita dapat (tarif resiprokal) 19%. Nah sekarang resiprokal diberlakukan tanggal 7 (Agustus) sambil kita berunding lagi," tuturnya.
Dalam perundingan yang masih berjalan hingga 1 September mendatang, pemerintah menargetkan sejumlah komoditas unggulan bisa mendapatkan tarif 0%, khususnya yang tidak bersinggungan langsung dengan industri di AS.
"Karena memang dikasih kesempatan (oleh AS) untuk berunding. Dan mudah-mudahan sebelum 1 September sudah selesai. Kan masih banyak yang akan kita usahakan untuk lebih bagus. Contohnya barang-barang yang tidak kita produksi (oleh AS)," ujar Budi.
Tidak Diproduksi di Indonesia
Saat ditanya soal jenis komoditas yang dimaksud, Budi menyebut beberapa di antaranya seperti minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), kakao, dan kopi. Komoditas ini dinilai memiliki peluang besar karena tidak diproduksi secara masif oleh industri AS.
"Jadi kita kan kena 19%. Tapi kita mengupayakan komoditas yang tidak diproduksi oleh Amerika itu kita dapat 0%. Seperti kakao, kemudian sawit, dan beberapa lah, kopi juga ada," paparnya.
Salah satu komoditas lain yang juga diduga masuk dalam daftar negosiasi adalah tembaga. Namun, Budi enggan menyebut secara gamblang dan meminta publik menunggu hasil akhir pembahasan.
"Ya pokoknya yang nggak diproduksi. Nanti saja, itu kan lagi negosiasi. Jangan diomongin," ucapnya.
Ia memastikan, proses pembahasan dalam kerangka Agreement on Reciprocal Trade masih berjalan dan diharapkan bisa rampung dalam waktu dekat.
"Nah itu yang belum selesai, masih dibahas, ya mudah-mudahan bisa 0%. Jadi tidak mesti semua 19% kan kalau itu bisa 0%," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nasib Udang RI di Ujung Tanduk Efk Tarif Trump, Pemerintah Bisa Apa?