
Menjelang Hari Raya Idul Adha, trotoar di sepanjang Jalan KS Tubun, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dipenuhi sapi dan kambing. Belasan lapak pedagang hewan kurban berderet memadati sisi jalan itu.
Pantauan kumparan Rabu (4/6) deretan lapak berdiri di atas trotoar arah Palmerah, mulai dari seberang SPBU Pertamina hingga mendekati pintu masuk TPU Petamburan.
Tak sedikit kambing terlihat menginjak bahu jalan karena ukuran lapak yang sempit. Di tengah bau pesing dan kotoran hewan yang menyengat, transaksi jual beli tetap berlangsung.
Di saat yang bersamaan, para penjaga lapak duduk santai di pinggir jalan, sesekali melayani pembeli yang berhenti di tengah lalu lintas yang tak pernah sepi.
“Setiap tahun,” kata Anshori (46), seorang pedagang kambing yang sudah tujuh tahun berjualan di sana.

Menurutnya, lapak-lapak biasanya mulai berdiri sejak H-10 jelang Idul Adha. Mayoritas pedagang tergabung dalam Himpunan Pedagang Kambing Tanah Abang—sebuah paguyuban di bawah koordinasi kecamatan yang memberi rasa aman dari penertiban.
“Kalau udah ikut paguyuban, enggak kena. Kita udah buat kebersihan, koordinasi kecamatan,” ujar Anshori.
Kambing-kambing yang dijual Anshori didatangkan dari Wonosobo, Jawa Tengah. Meski penjualan tahun ini agak lesu, ia tetap bersyukur masih punya pelanggan tetap.
“Kalau udah bisa bawa Rp 20 juta bersih, bersyukur sih. Tapi kayaknya kalau sekarang enggak dapet kayaknya,” katanya.
Sapi dan kambing menjadi pilihan utama pembeli. Harga kambing termurah dibanderol sekitar Rp 2 juta, sementara sapi bisa mencapai Rp 60 juta. Meski para pedagang berdiri sendiri-sendiri, keberadaan mereka sudah dianggap sebagai tradisi tahunan oleh warga sekitar.
“Dari zaman saya kecil udah ada. Awalnya Haji Taufik, orang asli Tanah Abang,” lanjut Anshori.

Rido (47), adik dari Haji Taufik, membenarkan bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak era 1990-an.
“Ya begitulah. Dari 93/94 dah. Dulu kambing-kambing aja, belum sapi,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa pedagang yang tergabung dalam paguyuban memiliki status resmi.
“Resmi kalau ada spanduknya. Jadi memang sebelum dagang kita dipanggil dulu ke kecamatan. Soal kebersihannya, tetek bengek," ujarnya.
Namun, tidak semua pedagang tergabung dalam himpunan. Irwan (50), penjaga salah satu lapak yang tidak terdaftar, mengatakan bahwa ia tetap mengantongi izin dari RW dan kelurahan.
“Ya kita orang sini. Karena pada diriin, ikut. Tapi tetep izin sama RW,” ujarnya. Meski begitu, ia mengaku tidak mendapat perlakuan berbeda dari petugas.
“Selama ini enggak sih. Awal kita buka ini, enggak ada [penertiban] sih dari Satpol PP," lanjutnya.

Di antara lapak-lapak hewan kurban, juga terdapat pedagang makanan. Rangga, penjual seafood dan pecel lele, sudah lama berjualan di kawasan itu dan kini berbagi ruang dengan para penjual hewan.
“Untung yang di sebelah saya bersih sih. Jadi enggak [terganggu]. Saling menghargai aja. Soalnya dia juga tahunan. Hanya setahun sekali,” katanya.
Meski bau menyengat dan kotoran hewan tak bisa dihindari, warga sekitar tampak tidak terganggu. Beberapa anak bahkan terlihat bermain di sekitar lapak, mengelus kambing, tertawa, dan sesekali memberi makan.
Bagi sebagian warga Tanah Abang, keramaian ini bukan semata soal jual beli. Ini adalah bagian dari siklus tahunan yang menandai datangnya hari besar.