GEMPA yang mengguncang Bekasi pada Rabu malam, 20 Agustus 2025, menjadi alarm bagi keamanan Bendungan Jatiluhur. Pendeta Victor Rembeth dari Komisi Pengurangan Risiko Bencana Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menilai bendungan strategis berusia lebih dari setengah abad itu rawan jika tidak segera diperkuat.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Kalau bicara infrastruktur, yang paling berbahaya itu memang Bendungan Jatiluhur. Dari dulu saya belum pernah dengar ada retrofitting. Padahal konstruksinya sudah berusia lebih dari 50 tahun. Bendungan strategis seperti ini seharusnya sudah diperkuat,” kata Victor saat dihubungi pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Victor menjelaskan, gempa dengan kedalaman 10 kilometer seperti yang terjadi di Bekasi merupakan jenis gempa dangkal yang dampaknya bisa terasa pada infrastruktur besar. Retakan kecil, katanya, cukup untuk menimbulkan bencana. “Kalau bendungan itu jebol, tidak perlu runtuh seluruhnya. Celah kecil saja bisa membuat air merembes, dan itu berbahaya,” ujar dia.
Menurut dia, risiko akan semakin besar bila terjadi gempa dengan kekuatan lebih tinggi. “Dengan guncangan di atas MMI 5 atau 6, retakan bisa muncul, air akan masuk, dan kerentanan struktur makin besar,” kata dia.
Victor menilai, jebolnya Bendungan Jatiluhur berpotensi menimbulkan bencana hidrologis berskala besar. Dia mengingat historis banjir bandang lainnya yang berskala besar. “Purwakarta, Karawang, Subang, sampai hilir ke Bekasi bisa terdampak. Sungai-sungai Citarum bisa berubah menjadi seperti tsunami. Kita bisa belajar dari banjir bandang di Manado tahun 2014, kekuatan airnya bisa meluluhlantakkan kota,” ujar dia.
Ia menambahkan, Pusat Studi Gempa Nasional belakangan mencatat peningkatan jumlah potensi gempa dari sekitar 200 titik menjadi 400 titik. Menurut dia, kondisi ini menuntut pemerintah untuk melakukan penguatan infrastruktur vital. “Semua infrastruktur strategis seharusnya sudah diretrofit oleh kementerian dan lembaga terkait, seperti PU dan lain-lain," kata dia.
Victor mengingatkan bahwa gempa berbeda dengan bencana lain karena tidak memiliki sistem peringatan dini. “Tsunami, gunung api, dan banjir masih bisa ada early warning. Kalau Bendungan Jatiluhur jebol, waktunya terlalu singkat untuk peringatan dini,” ucap dia.
Ia menyebut ada tiga langkah yang seharusnya ditempuh pemerintah. Pertama, memperkuat konstruksi bendungan dengan retrofitting. Kedua, menyiapkan rencana kontingensi lintas kabupaten dan provinsi, melibatkan TNI-Polri, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hingga DKI Jakarta.
Ketiga, meningkatkan kapasitas masyarakat melalui desa tangguh bencana. “Kalau kapasitas masyarakat naik dan kerentanan turun, maka risiko juga berkurang,” kata Victor.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya melaporkan gempa berkekuatan Magnitudo 4,9 terjadi pukul 19.54 WIB. Pusat gempa berada di darat, 14 kilometer tenggara Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dengan kedalaman 10 kilometer.
Getaran gempa dirasakan terkuat di Bekasi dan Purwakarta pada skala III MMI, atau setara getaran truk besar yang melintas bila terjadi di siang hari. Sementara di Jakarta, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, hingga Sukabumi, guncangan tercatat pada skala II–III MMI.