
PRAKTIK filantropi di Indonesia terus berkembang dengan dinamika yang menarik antara dua domain utama, antara tradisional dan institusional. Kedua pendekatan ini memiliki karakteristik yang berbeda, namun diyakini dapat saling menguatkan.
Co-Chair Dewan Pakar Filantropi Indonesia, Amelia Fauzia menegaskan bahwa praktik tradisional biasanya tumbuh dari nilai-nilai lokal dan praktik komunitas yang telah lama hidup dalam budaya masyarakat.
Sementara, filantropi institusional berkembang melalui proses pelembagaan yang dikelola secara profesional, terencana, dan bertumpu pada agenda perubahan struktural serta keadilan sosial.
"Domain tradisional itu biasanya spontan, tidak terstruktur, mengakar pada nilai lokal dan praktik komunitas. Sementara yang institusional dikelola secara profesional, terencana, berbasis pada perubahan struktural dan keadilan sosial," kata Amelia dalam kegiatan FIFest 2025 di Jakarta, Kamis (7/8).
Namun, meskipun jumlah lembaga filantropi di Indonesia kian meningkat dengan lebih dari 250 anggota tergabung dalam jaringan Filantropi Indonesia dalam dua tahun terakhir, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik tradisional masih mendominasi.
"Praktik yang mengemuka sekarang, yang mendominasi adalah filantropi tradisional. Walaupun anggota filantropi institusional semakin bertambah masif," ujarnya.
Situasi ini pun mendorong perlunya penguatan terhadap praktik filantropi yang bersifat institusional. Namun, penguatan ini bukan untuk menggantikan pendekatan tradisional, melainkan untuk membangun kolaborasi yang saling melengkapi.
"Apakah domain ini harus kita pilih salah satu? Tidak. Keduanya harus saling melengkapi. Yang satu punya akar budaya yang kuat, yang lain punya struktur kelembagaan yang kokoh," ucapnya.
Menurutnya, praktik tradisional yang masih sangat dominan saat ini harus dilengkapi dengan pendekatan kelembagaan yang kuat tanpa kehilangan akar dan semangat aslinya.
"Jika budaya adalah fondasi yang kokoh, maka ekosistem adalah rumah besar yang kita bangun bersama di atasnya. Jika budaya adalah pertanyaan mengapa kita memberi, maka ekosistem dapat menjelaskan bagaimana," tuturnya.
Dengan integrasi kedua pendekatan tersebut, diyakini pemberian yang dilakukan masyarakat tidak hanya menyentuh sisi emosional dan nilai, tetapi juga berdampak nyata, terukur, dan berkelanjutan. (H-3)