
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang memisah Pemilu nasional dan lokal.
Pemilu nasional meliputi Pileg DPR, DPD dan Pilpres. Sedangkan Pemilu daerah/lokal meliputi Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota dan Pilkada.
Namun, Pemilu lokal baru digelar paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden dilantik.
Namun, masih menjadi pertanyaan bagaimana dengan masa jabatan DPRD dan Kepala Daerah periode 2024-2029. Sebab, berdasarkan putusan MK ini, Pilkada baru bisa dilaksanakan paling cepat pada tahun 2031, melewati akhir masa jabatan mereka.
Jabatan Kepala Daerah Baiknya Diperpanjang
Feri beranggapan, masa jabatan kepala daerah harusnya diperpanjang sebagaimana DPRD provinsi, kabupaten/kota.
“Kepala daerah sebaiknya diperpanjang, sebab itu kan pilihan rakyat, dan memperpanjangnya melalui mekanisme yang ditentukan putusan MK bahwa itu bagian dalam rangka mempersiapkan pemilu serentak berikutnya,” kata Feri kepada kumparan, Selasa (1/7).
Menurutnya, opsi ini lebih baik daripada menunjuk Pj (Penjabat). Ia menilai, penunjukan Pj berpotensi menimbulkan besarnya intervensi pemerintah dalam Pemilu yang akan datang.
“Kalau ditunjuk Pj, itu dominasi Menteri Dalam Negeri dan Presiden sangat dominan, sementara, ini menuju persiapan pemilu berikutnya yang notabenenya tidak terbangun keterpihakan, Pj Gubernur akan sangat mudah dikendalikan Menteri Dalam Negeri dan Presiden dan itu bisa merusak tatanan Pemilu berikutnya,” ucap dia.
Feri kemudian menjelaskan, mekanisme perpanjangan akan tetap menggunakan nama Pj.
“Tapi Pj Kepala Daerah itu diisi oleh Kepala Daerah yang terpilih (di Pemilu sebelumnya),” kata Feri.

Putusan MK Tidak Rumit
Feri menyebut, sebenarnya putusan MK tidak perlu dibawa rumit oleh DPR. Sebab berbasis kepada kepentingan pemilih dan peserta Pemilu.
"Jadi, ada baiknya memang agar peserta, pemilih, penyelenggara tidak kelelahan dan maksimalnya mereka dalam kontestasi demokrasi di kemudian hari, perlu dipisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah," kata Feri.
Feri pun menjabarkan, putusan MK ini sebenarnya berbasis putusan nomor 55/PUU-XVII/2019. Pada pertimbangan hukum tersebut, MK memberikan enam opsi keserentakan Pemilu.

Keserentakan Pemilu ini diserahkan kepada DPR dan Pemerintah. Namun, dalam putusan terbaru, MK memutus Pemilu serentak yang memisah antara Pemilu nasional dan lokal.
"MK sudah menawarkan konsep ini, sedari awal kepada pembentuk undang-undang. Hanya pembentuk undang-undang ingin menyertakan keseluruhan. Padahal ada alternatif yang diberikan MK. Bisa seluruh, bisa dibagi dua, macam-macam gitu ya," kata Feri.
"Nah, karena MK melihat fakta-fakta dalam Pemilu 2024 kemaren, maka MK memberikan pertimbangan baru untuk mempertegas saja, perlu dipisahkan Pemilu nasional dengan pemilu lokal," tambah dia.
Oleh sebab itu, Feri menegaskan, MK tidak mengubah aturan main terkait Pemilu. DPR tinggal menjalankan putusan MK.
"Artinya, bagi pembentuk Undang-undang, punya kewajiban untuk memperbaiki ketentuan Undang-undang agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi karena waktunya masih lama," ucap Feri.