Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi demonstrasi yang berlangsung beberapa waktu terakhir bersumber dari kemarahan warga Indonesia atas kondisi perekonomian saat ini. Banyak sekali catatan yang harus dipenuhi oleh Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Researcher bagian ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan menyebut persoalan utama adalahkrisis kepercayaan kepada pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal menjadi akar dari gelombang demonstrasi.
Menurutnya, masyarakat diminta membayar pajak, iuran, hingga menerima kebijakan efisiensi pemerintah. Namun di sisi lain, publik melihat tanda-tanda pemborosan, seperti penambahan jumlah kementerian dan lembaga, praktik rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan bagi pejabat dan anggota DPR.
"Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara," ujar Deni dalam diskusi publik CSIS.
Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.
Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.
"Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat," ujarnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, Deni menyoroti tingginya tingkat PHK dan pekerja informal yang tidak dapat menghasilkan pendapatan layak yang mampu mengimbangi biaya hidup.
Di tengah berbagai beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah justru mencanangkan program-program mahal yang dinilai Deni masih tidak efektif untuk mendor0ng perekonomian.
Foto: Massa demonstrasi di depan Polda Metro Jaya, Jalan Jendral Sudirman, Jakarta pada Jumat (29/8/2025) malam terpantau ricuh. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Seperti salah satunya program Makan Bergizi Gratis yang dianggarkan Rp 335 triliun dan anggaran belanja untuk pertahanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban Rp 565 triliun mulai tahun depan.
"Jadi permasalahannya adalah secara ironis arah dari belanja negara justru juga tidak adil dan malah menambah luka. Belanja bantuan dan perlindungan sosial itu terus mengecil," ujar Deni.
"Permasalahannya adalah bagaimana anggaran itu dibelanjakan dan pertanggungjawaban serta transparansinya itu masih tidak jelas hingga hari ini. Apakah dana-dana yang dikeluarkan itu untuk membeli alat-alat yang baik, yang proper dalam organisasi angkatan pertahanan kita, atau kepolisian kita, atau malah itu menjadi alat untuk memukul rakyatnya sendiri," ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Ekonom senior yang juga merupakan pendiri CReco Research Institute, Raden Pardede mengungkapkan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengembalikan rasa aman dan nyaman di masyarakat, khususnya di kota-kota besar yang kini aktivitas ekonominya mulai terganggu.
Menurutnya, kekhawatiran masyarakat tidak hanya soal keamanan fisik, tapi juga soal masa depan pekerjaan, kelangsungan bisnis, dan penghasilan.
"Tadi misalkan mau beli makanan di warung, saya minta tolong dibeli ini, ternyata mereka juga tutup karena kebetulan perkantoran juga menjadi banyak yang tutup. Jadi ini berdampak," Ujar Raden dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia TV.
"Oleh karena itu memang ini harus segera diatasi secepat mungkin. Karena kalau tidak dampaknya kepada kita semua, kepada masyarakat, kepada pengusaha, ekonomi kita, kita semua yang akan jadi korban," tegasnya.
Foto: Aksi demonstrasi sopir truk di jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta pada Rabu (2/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Selain itu, Raden pun menegaskan pemerintah untuk juga menyelesaikan akar masalah dari gejolak sosial yang terjadi. Dirinya menyoroti tingginya tingkat pengangguran di kalangan anak muda, kualitas pekerjaan yang belum memadai, hingga tekanan dari masuknya produk-produk impor yang membanjiri pasar domestik.
Menurutnya, hal-hal tersebut yang menjadi penyebab utama kekecewaan masyarakat yang akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi.
"Kita nggak bisa hanya menyatakan jangan demonstrasi, tapi kalau perut sudah lapar, kemudian merasa juga sulit dapat pekerjaan, saya pikir itu tidak akan menyelesaikan masalah kalau kita hanya menyatakan jangan berdemo, kemudian kita menjaga keamanan. Itu tidak cukup hanya itu," ujarnya.
Selain itu, Raden menyarankan pemerintah untuk merelokasi belanja pemerintah ke proyek-proyek padat karya yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat bawah. Seperti perbaikan rumah tidak layak huni, infrastruktur kampung, jalan lingkungan, dan proyek drainase.
"Nggak perlu membeli rumah. Jadi kita bisa langsung, oke beli semen, beli batu, beli kayu. Itu langsung bisa dikerjakan bersama-sama oleh teman-teman kita yang muda-muda di kampung itu. Mereka dapat pekerjaan dan mereka juga dapat income dari situ. Nah demikian juga jalan-jalan diperbaiki. Itu dulu yang menurut saya dari sisi saya yang bisa kita buat dalam tempo singkat ini," ujarnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Negara di Jurang Krisis, Demo Berdarah-Korban Jiwa Berjatuhan