Seorang dokter anak Amerika yang jadi relawan di Jalur Gaza mengatakan luka yang dialami warga yang mencari bantuan di lokasi yang dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) menunjukkan pasukan Israel menembak warga dengan sengaja, dengan menargetkan dan melukai bagian tubuh tertentu pada hari tertentu.
Dokter yang menghabiskan 2,5 minggu bekerja di RS Al-Aqsa di Deir el-Balah dan RS al-Shifa di Gaza City, Ahmed Yousaf, mengungkapkan menyaksikan korban massal akibat tembakan Israel di titik distribusi makanan yang dikelola oleh GHF yang didukung AS hampir setiap hari.
"Laki-laki datang [ke rumah sakit] dengan luka yang sangat spesifik, hampir seperti pola harian," katanya, dikutip dari Al Jazeera, Rabu (13/8).
"Artinya pada hari tertentu, katakanlah hari Senin, kami menerima 40-60 pasien yang datang pada waktu tertentu dan mereka menderita luka tembak di kaki, atau luka di bagian panggul, atau luka di selangkangan pada hari tertentu, polanya kurang lebih sama," jelasnya.
"Dan pada hari berikutnya, kami melihat luka di bagian tubuh atas, dada, lalu ada hari berikutnya lukanya di bagian kepala, luka tembak di bagian leher atas. Setidaknya bagi saya, ada seseorang di balik senjata hari itu yang memilih cara mereka melukai atau membunuh orang. Serangannya tidak melihat usia," lanjutnya.
Lebih lanjut, Yousaf mengatakan sebagian besar korban merupakan anak laki-laki dan pemuda, karena mereka sering kali mengambil risiko untuk mencoba mendapatkan makanan untuk keluarga mereka.
"Orang-orang memberi tahu kami bahwa mereka ditembak tanpa pandang bulu di lokasi itu atau di sekitar lokasi itu, atau saat mencoba untuk pergi. Dari perspektif pengenalan pola, berdasarkan mereka yang datang ke IGD, tampak jelas bagi mereka dan bagi kami bahwa pada hari tertentu, siapa pun yang membuat keputusan di balik pelatuk sedang memilih pola tembakan yang sangat spesifik," tuturnya.
Yousaf kemudian menggambarkan situasi di Gaza sebagai jebakan maut.
"Ini seperti kurungan di mana orang-orang ditandai untuk mati. Rasanya seperti ada kuota jumlah orang yang harus dibunuh di hari tertentu," ujarnya.
Sementara di hari warga Palestina menjauhi titik-titik GHF karena Israel mengizinkan banyak truk bantuan masuk, artinya akan terjadi serangan udara yang lebih intensif.
"4 hari terakhir kami berada di sana, ketika akses bantuan melalui truk makanan diizinkan masuk, profil risikonya berubah dan pergi ke lokasi distribusi makanan tidak terasa sepadan dengan risikonya karena ada makanan di tempat lain. Kami melihat peningkatan signifikan ledakan bom di jalan-jalan, rumah-rumah, kendaraan-kendaraan. Jadi pola insiden korban massal berubah dari luka tembak menjadi pengeboman tanpa pandang bulu. Kami melihat perempuan, anak-anak, lansia di hari pengeboman terjadi," ungkapnya lagi.
Dia juga menggambarkan apa yang dilakukan Israel di Gaza sebagai genosida. Salah satu aspek yang jelas adalah penolakan Israel untuk mengizinkan dirinya dan rekan-rekannya menerima pasokan medis atau susu formula bayi.
"Ketika kami diperiksa [oleh militer Israel] di perbatasan, barang-barang dari sebagian besar kami disita dari tas kami. Barang-barang seperti makanan dan multivitamin dan antibiotik dan perlengkapan medis seperti stetoskop, semua yang bisa anda bayangkan, yang kami harap bisa kami miliki untuk merawat orang-orang di Gaza.