INFO NASIONAL – Tahun 2030 tinggal lima kali pergantian kalender. Di tahun tersebut, Pemerintah Provinsi Jakarta berambisi menembus posisi 50 besar kota global yang modern namun ramah lingkungan. Bayangkan jika setiap ruas jalan dilintasi transportasi publik berdaya listrik serta koneksi internet berkecepatan tinggi di setiap sudut kota.
Demi tujuan tersebut, Pemprov Jakarta menggelar seminar bertajuk “Mewujudkan Jakarta Top 50 Kota Global melalui Akselerasi Inovasi Infrastruktur dan Layanan Digital” di Balai Agung, Balai Kota Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2025. Forum ini mempertemukan pemerintah, para ahli, dan praktisi terkemuka untuk merumuskan arah pembangunan yang terarah menuju target tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Jakarta Pramono Anung yang membuka acara menegaskan tiga aspek utama sebagai fondasi: transportasi dan mobilitas, infrastruktur fisik dan aset, serta infrastruktur digital. Ia menekankan pentingnya jaringan digital mandiri guna mendukung layanan pemerintahan yang aman, cepat, dan terkoneksi melalui Government Digital Network.
“Kita mulai memikirkan penyediaan akses nirkabel di ruang-ruang publik, menghadirkan koneksi internet yang stabil dan berkecepatan tinggi, serta data center yang mudah diakses,” kata Pramono. Menurut dia, pembangunan infrastruktur digital merupakan pondasi Jakarta sebagai Smart Giga City.
Amanat Pramono menjadi dasar kegiatan diskusi ini. Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jakarta Atika Nur Rahmania mengundang lima pakar untuk berdiskusi dan merumuskan strategi yang tepat serta berkelanjutan.
Mereka adalah Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marsudi Wahyukisworo, Direktur Jenderal Teknologi Pemerintah Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Mira Tayyiba yang diwakili Aries Kusdaryono, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Sarwoto Atmosutarno, Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Kementerian Keuangan Iwan Djuniardi, serta perwakilan perusahaan teknologi Thomas Schwab.
Sebelum sesi diskusi, Firdaus Ali memaparkan kondisi dan tantangan yang dihadapi Jakarta dalam tema “Strategi Penguatan Infrastruktur dan Peningkatan Layanan Digital untuk Akselerasi Jakarta Top 50 Global City”. Ia menyebut masalah kepadatan penduduk, mobilitas tinggi, kawasan kumuh, polusi udara, serta dampak perubahan iklim yang memerlukan mitigasi.
“Sebetulnya dengan teknologi digital, kita sudah bisa tahu bagaimana mengolah, menguplikasi, dan kemudian mengantisipasinya,” ujar Firdaus. “Isu investasi digital harus menjadi platform kita menuju 2045. Target menjadi kota global tidak mudah dicapai tanpa kerja keras.”
Para narasumber dalam Seminar dan Forum Diskusi “Mewujudkan Jakarta Top 50 Kota Global melalui Akselerasi Inovasi Infrastruktur dan Layanan Digital” yang digelar di Balai Agung, Balai Kota, Selasa, 5 Agustus 2025. TEMPO/Hendy Mulia
Atika sepakat dengan Firdaus. Saat ini Jakarta berada di peringkat 74, turun dari posisi 64 satu dekade lalu. “Penurunan terbesar Jakarta terjadi pada dimensi pertukaran informasi. Dimensi ini sangat menentukan daya saing kota di era digital,” ucapnya.
Ia menyoroti kualitas internet yang rendah, keamanan siber yang lemah, dan kapasitas data center yang tertinggal. Berdasarkan Speedtest, Jakarta berada di peringkat 112 untuk internet seluler dan 137 untuk broadband tetap. Serangan siber mencapai 1,1 juta kasus per tahun. “Kita harus mendorong ekosistem digital yang lebih kuat dan terstruktur,” ujar Atika.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), digital ditetapkan sebagai game changer untuk mendorong produktivitas ekonomi dan konektivitas global. Prinsip itu dituangkan dalam RTRW 2024–2044 melalui Transit Oriented Development, Digital Oriented Development, dan Self-Sufficient Neighborhood. Rencana Pembangunan 2025–2029 memandatkan penyusunan Master Plan Citywide Digital Infrastructure.
Lima tahun ke depan, pemerintah berupaya meningkatkan kecepatan dan akses internet, memperluas jaringan wifi, menambah kapasitas data center, dan memperkuat keamanan siber. “Regulasi sudah ada, sekarang saatnya memastikan implementasi berjalan nyata demi memperbaiki posisi Jakarta di Global City Index,” kata Atika.
Namun, transformasi digital bukan hanya soal infrastruktur. Demikian sebut Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Marsudi Wahyukisworo. “Punya laptop tercanggih tapi hanya dipakai mengetik laporan, itu belum transformasi,” ujarnya.
Ia memaparkan lima komponen kunci: kepemimpinan dengan mindset digital, pengalaman layanan tanpa batas kanal fisik maupun digital, pemanfaatan data untuk keputusan, perubahan model operasional pemerintahan, dan pengembangan SDM berorientasi digital.
Marsudi menyarankan enam pilar menuju kota global berkelanjutan, yakni best practice pengelolaan kota, inovasi terbuka, integrasi melalui Government Digital Network, keputusan berbasis data dengan AI, perapian proses bisnis lewat otomasi, dan keterlibatan publik.
Ia juga mengingatkan agar Jakarta tidak berhenti di Government Digital Network.
“Langkah utuhnya adalah membentuk Government Service Bus yang menyatukan seluruh layanan dalam satu sistem digital canggih,” kata Marsudi.
Menghubungkan Layanan Publik Lewat PDN
Aries Kusdaryono dari Komdigi menjelaskan pemerintah pusat telah menyiapkan Government Service Bus (GSB) sebagai tulang punggung pertukaran data layanan publik. Fasilitas ini akan beroperasi lewat Pusat Data Nasional (PDN) untuk mempercepat transformasi digital nasional, termasuk Jakarta.
Gubernur Jakarta Pramono Anung, bersama Kepala Bappeda Provinsi Jakarta Atika Nur Rahmania (kedua kiri), berfoto seusai Seminar dan Forum Diskusi bertema “Mewujudkan Jakarta Top 50 Kota Global melalui Akselerasi Inovasi Infrastruktur dan Layanan Digital” yang digelar di Balai Agung, Balai Kota, Selasa, 5 Agustus 2025. TEMPO/Hendy Mulia
GSB dirancang agar data antarinstansi—baik pusat maupun daerah—terhubung dan saling memperkaya. “Data mengalir secara tunggal, transparan, dan bersumber dari sistem yang terpercaya,” ujarnya dalam forum digitalisasi di Jakarta.
Peningkatan ekosistem PDN dilakukan dengan mengoptimalkan fasilitas yang ada serta membangun pusat data tambahan melalui kerja sama dengan pemerintah daerah. “Infrastruktur digital Jakarta menjadi acuan bagi daerah lain,” kata Aries.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sarwoto Atmosutarno, menambahkan bahwa untuk bersaing di level global, pertumbuhan sektor digital harus dua kali lipat pertumbuhan PDB nasional atau daerah. Ia mengingatkan bahwa infrastruktur digital tidak hanya soal serat optik atau kecepatan internet, tetapi juga perangkat, termasuk Internet of Things (IoT) untuk layanan publik.
Sarwoto mendorong pemanfaatan frekuensi murah seperti 450 MHz untuk membangun smart devices di sektor pemerintahan, mulai dari pencahayaan jalan, pajak digital, pemantauan air, hingga stasiun pengisian bahan bakar pintar. “Smart city bukan hanya internet cepat, tetapi juga aplikasi pintar yang memudahkan warga,” ujarnya.
Keduanya sepakat bahwa kolaborasi pemerintah, BUMD, operator telekomunikasi, penyedia pusat data, dan penyedia teknologi swasta menjadi kunci percepatan. “DKI punya peluang menjadi pionir penyedia teknologi khusus pemerintahan,” kata Sarwoto.
kosistem Pajak Digital dan Solusi Hemat Energi
Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Kementerian Keuangan, Iwan Djuniardi, menekankan pentingnya ekosistem digital pajak daerah yang adil, transparan, dan saling menguntungkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dan status Jakarta sebagai kota global harus sejalan dengan peningkatan kesejahteraan warga. “Kebayang nggak kalau bisnisnya jalan, globalnya jalan, tapi pajaknya nggak cocok? Kemajuan ekonomi itu tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Iwan di Jakarta.
Iwan menjelaskan, saat ini DKI Jakarta masih mengandalkan dana pusat untuk membiayai sekitar separuh kebutuhan daerah. Ia menargetkan, dengan optimalisasi PAD, pembiayaan dari pusat bisa ditekan hingga 20 persen. “Kalau PAD meningkat, ketergantungan terhadap pusat berkurang, sehingga uang pusat bisa didistribusikan ke daerah yang lebih miskin atau kurang berkembang,” ujarnya.
Strategi yang diusulkan mencakup pembangunan ekosistem digital yang melibatkan lima pihak: konsumen, pelaku usaha (merchant), bank, operator sistem, dan pemerintah daerah. Setiap pihak harus mendapat manfaat langsung melalui sistem insentif dan transparansi data transaksi. “Kalau ada satu pihak saja yang tidak happy, misalnya konsumen terbebani tapi kesejahteraan tidak naik, maka sistem ini gagal,” kata Iwan.
Ia mencontohkan mekanisme insentif untuk mendorong kepatuhan pajak, seperti pemberian hadiah atau diskon bagi konsumen yang menerima struk resmi, serta rebate bagi merchant yang membayar pajak lebih awal. Konsumen juga dapat melaporkan merchant ya...