
Pada akhir Juni 2025, Dior mengubah halaman Hôtel National des Invalides di Paris menjadi ruang museum. Dindingnya dilapisi beludru dan dilengkapi dua lukisan still life karya Jean Siméon Chardin dari abad ke-18 yang dipinjam langsung dari Musée du Louvre dan National Galleries of Scotland.
Inilah panggung yang dipilih Jonathan Anderson untuk memperkenalkan dirinya sebagai direktur kreatif baru Dior Men, melalui koleksi perdananya Summer 2026.
Untuk momen ini, Jonathan Anderson sengaja tak memulai dengan gebrakan besar. Desainer lulusan London College of Fashion ini memilih pendekatan yang lebih tenang namun penuh perenungan.
Ia menyebut koleksinya sebagai usaha untuk “mendekode bahasa rumah mode Dior, lalu mengode ulang”. Oleh karena itu, Jonathan menggali kembali arsip-arsip Christian Dior. Namun bukan untuk memamerkan nostalgia, melainkan membentuk dialog baru antara masa lalu dan masa kini.

Salah satu contohnya bisa dilihat pada Bar jacket ikonis milik Dior sejak 1947 yang kembali muncul dalam versi tweed Donegal, dikenakan dengan cargo shorts berstruktur. Siluet couture dari era terdahulu tidak dihidupkan ulang dalam bentuk gaun atau setelan rapi, melainkan dalam potongan celana pendek, denim longgar, atau rompi khas abad ke-18 yang dipadankan dengan sneakers.
Jadi bisa terlihat jelas kesan yang ditampilkan adalah pakaian formal dirombak dengan sentuhan kasual yang nyaris sembrono, tapi tetap terasa elegan.

“Bagi saya, ini tentang radikalisme yang tenang,” kata Jonathan Anderson dalam wawancara dengan Business of Fashion. “Buat saya ini terasa normal, tapi untuk konsumen, mungkin ini sudah dianggap cukup liar.” Ia juga menyebut prosesnya sebagai sebuah kurasi; bukan hanya mendesain, tapi menyusun ulang referensi dan sejarah menjadi sesuatu yang baru dan relevan.
Untuk mewujudkan ini, Jonathan Anderson bahkan meminta pencari arsipnya untuk menemukan potongan busana pria terbaik dari abad ke-18. Saat melihatnya, ia merasa potongan itu cukup menggambarkan Dior.
Koleksi Dior Men 2026 yang sederhana namun disusun dengan cermat















Walau tampilannya terlihat santai dan tidak terlalu dibebani formalitas, koleksi ini sebenarnya dipenuhi dengan struktur dan perhitungan. Palet warnanya berani seperti cobalt, kuning lembut, hijau zamrud, dan tangerine diolah dalam bahan ringan seperti katun transparan, jacquard, dan silk.
Di sisi lain, jaket panjang dipotong rapi, sementara celana dilonggarkan. Artinya, sang desainer tetap menjadikan gaya tailoring sebagai pilar, namun diberi sentuhan playful khas Jonathan Anderson.

Twist menarik lainnya hadir lewat bordiran bunga kecil pada sweater dan sneakers memunculkan nuansa klasik Prancis yang tidak terasa kuno. Aksesori pun mencuri perhatian—terutama Book Tote yang dicetak menyerupai sampul buku legendaris seperti Bonjour Tristesse dan Dracula.
Tas tangan Lady Dior juga dihadirkan, namun kali ini lewat kolaborasi dengan seniman tekstil Sheila Hicks, menambah nuansa artistik yang halus namun kuat.
Keseluruhan koleksi ini berbicara lewat kontras: aristokrasi dan anti-formalitas, sejarah dan masa kini, struktur dan kelonggaran. Jonathan Anderson seperti ingin mengatakan bahwa pakaian pria bisa tetap memiliki bobot sejarah, tapi juga cukup fleksibel untuk bergerak bebas di dunia sekarang.

Melalui debut ini, sang desainer tidak hanya menunjukkan pemahamannya atas warisan Dior, tapi juga keberaniannya menyentuh warisan itu dengan tangan ringan penuh kreativitas. Jonathan Anderson tak mengubah identitas Dior—ia justru merangkulnya dan menjadikannya terasa segar, manusiawi, dan bisa dikenakan oleh siapa saja yang menghargai keindahan dalam keseharian.