
Di tengah gegap gempita wisatawan massal restoran mewah dengan tema tradisional itu menawarkan sesuatu yang berbeda.
The Kitchen Garden menyajikan makanan khas daerah Manggarai dalam piring keramik sederhana, disajikan dengan penuh cerita.
Memang restorannya tak punya papan nama besar, tetapi punya misi besar. Ini membuktikan bahwa ekonomi lokal bisa tumbuh tanpa harus menjual jati diri.
Kurator The Kitchen Garden, Michael Iwa, 55 tahun, bukan orang baru dalam industri makanan dan minuman. Tiga dekade lebih ia mengasah kepekaannya terhadap rasa dan pasar.
Michael sempat tinggal dan menjadi Chef di Bali selama 25 tahun, dan sepuluh tahun terakhir di Labuan Bajo. Namun baru pada April 2025, setelah badai dan letusan gunung membuat Michael dan mitra bisnisnya membuka restoran berkonsep slow dining dengan sentuhan eksklusif.
Lokasinya jauh dari pusat kota, aksesnya tidak mudah. Tapi itulah bagian dari strateginya.
“Restoran ini memang tidak untuk semua orang. Kami bukan tempat datang langsung makan. Kami ingin mengenal tamu kami terlebih dulu,” kata Michael di The Kitchen Garden Labuan Bajo, dikutip Sabtu (12/7).

Sistem reservasi menjadi saringan awal. Tidak hanya untuk mengatur jadwal atau jumlah pengunjung, tapi juga untuk memahami siapa yang akan datang, asal mereka, preferensi rasa, alergi, hingga karakter budaya.
Dari sanalah strategi bisnis Michael terbentuk yakni memilih pasar yang kecil tapi tepat, bukan besar tapi acak.
Ia menyasar wisatawan asing, terutama dari Singapura, Amerika, dan Malaysia, yang menurutnya punya length of stay dan daya beli tinggi.
Bukan tanpa alasan, mereka adalah konsumen yang siap membayar lebih untuk kualitas makanan, pengalaman yang terkurasi, dan nilai-nilai autentik.
“Market Singapura itu bagus buat kami. Mereka pilih hotel mahal, restoran bagus. Saya tidak bilang restoran saya mahal, tapi baguslah,” ujar Michael sembari tersenyum.
Harga makan di restorannya berkisar Rp 55 ribu hingga Rp 180 ribu, masih dalam batas “terjangkau” secara nasional, tapi memang ditujukan pada pasar menengah ke atas.
Di tengah kondisi Labuan Bajo yang hanya punya 53.000 penduduk dan musim wisata yang pendek (sekitar April–September), pilihan ini masuk akal. Ia tak bisa bertumpu pada kuantitas.

Alih-alih mengejar volume, ia membatasi jumlah pengunjung maksimal 30 orang dalam satu sesi layanan. Alasannya bukan cuma soal eksklusivitas, tapi juga konservasi sumber daya.
“Kami hitung berapa air yang kami pakai. Kami tidak buat sumur, karena di sini water catchment-nya dangkal. Kalau ditarik, air dari pegunungan bisa terganggu,” katanya.
Digitalisasi dan Sistem Pembayaran: Antara Visa, MasterCard, dan QRIS. Dalam hal transaksi, turis asing lebih nyaman dengan kartu kredit internasional berlogo Visa atau Mastercard. Sementara warga lokal lebih memilih pembayaran digital melalui QRIS.
“Kalau yang luar negeri pasti MasterCard dan Visa. Kalau orang Indonesia pasti QRIS,” kata Michael.
QRIS, sistem pembayaran berbasis QR code yang dikembangkan Bank Indonesia, telah merambah hingga pasar-pasar tradisional di Labuan Bajo. Bahkan, kata Michael, “mama-mama penjual sayur di pasar pun juga sudah pakai QRIS.”
Restoran miliknya mengadopsi QRIS melalui BNI, setelah sempat ikut serta dalam ajang Golo Mori Jazz Festival. Meskipun QRIS belum diadopsi secara luas oleh turis Singapura dan Malaysia yang datang, sistem ini menunjukkan potensi besar dalam mendukung inklusi keuangan di daerah pariwisata.
QRIS bukan hanya alat bayar, tapi juga cermin kesiapan infrastruktur ekonomi digital Indonesia dan daya adaptif pelaku usaha di daerah.
Menu Berubah, Prinsip Tetap: Kearifan Lokal dalam Format Premium

Di dapurnya, Michael menjalankan filosofi yang sederhana, masakan lokal harus dinaikkan kelasnya dulu agar bisa dihargai. Ia tidak membuka warung kaki lima yang menjual makanan yang belum dikenal.
Sebaliknya, ia menyajikan menu khas Manggarai dengan teknik dan penyajian yang bisa diterima lidah global.
Makanan di sini tidak tetap. Ia terus berubah. Setiap kali ada hasil kebun baru atau hasil laut segar dari nelayan, menu pun menyesuaikan. Buku menu disusun digital agar fleksibel.
“Kami tidak punya menu tetap. Ini bukan restoran ala carte biasa. Kami bermain di pengalaman, bukan daftar menu,” ujarnya.
Ia bahkan mengadaptasi cita rasa masakan berdasarkan asal tamu. Orang Eropa Timur, katanya, cenderung menyukai makanan berkuah dan hangat seperti zaman Romawi.
Sementara orang Jepang atau Spanyol lebih suka rasa tertentu yang menyerupai masakan mereka, seperti kuah lomak (wijen) yang ternyata mengingatkan mereka pada romesco sauce.
Makan di restoran ini memakan waktu rata-rata dua hingga tiga jam. Tidak ada konsep “cepat kenyang lalu pergi.” Sambil menyantap, tamu akan mendengarkan cerita dari Michael tentang asal-usul bumbu, sejarah tanaman herbal, atau kisah nelayan yang memasok ikan pagi itu.

“Kalau datang tanpa reservasi, biasanya tidak dapat soul-nya. Tidak dapat chemistry-nya,” ujarnya.
Sebagian besar pelanggan datang karena rekomendasi pribadi, dari hotel-hotel bintang lima seperti Luxury Collection, Katamaran, hingga Ayana.
Michael tidak membayar untuk kolaborasi promosi, tetapi mengandalkan trust dan kualitas pengalaman.
Google Business Review dan word of mouth menjadi tulang punggung promosi. Sementara Instagram, menurutnya, justru kurang efektif karena Labuan Bajo belum sepenuhnya didekati lewat kanal digital yang tepat.
“Kalau berharap semua dari digital, saya rasa belum. Justru perlu visitor guide versi cetak, seperti zaman dulu. Pelan-pelan nanti migrasi ke digital,” katanya.
Michael juga menyadari tantangan jangka panjang, gentrifikasi. Lonjakan properti, ledakan pariwisata, dan transformasi sosial bisa membahayakan keberlanjutan ekosistem lokal.
Tapi alih-alih mengandalkan pemerintah, ia lebih percaya bahwa perubahan sejati harus datang dari pelaku industrinya sendiri.
“Saya pikir justru yang paling penting itu menyadarkan orang terhadap gentrifikasi. Pemerintah sudah banyak membuat regulasi. Tapi kita, industrinya, harus ikut menjaga,” tegasnya.
Tak menjanjikan kenyang cepat, tapi pengalaman penuh makna. Di dapurnya, ESG bukan sekadar konsep investor, tapi cara hidup.
Di ruang makannya, transaksi bukan hanya soal Visa, MasterCard, atau QRIS, tapi juga kepercayaan, cerita, dan rasa. Dan mungkin di situlah letak nilai ekonominya, sebuah bisnis yang tidak hanya menghidupi, tapi juga menghidupkan.