“Apa tujuan hidup saya? Saya tidak mencarinya di Alkitab, tidak mencarinya di Al-Qur’an, melainkan bertanya kepada AI,” ujar Guru Besar Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Ang Peng Hwa, dalam Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (21/8).
Pernyataan itu merujuk pada temuan riset terbaru yang menunjukkan pergeseran tren penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) pada 2025. AI kini lebih banyak dimanfaatkan untuk curhat, terapi emosional, hingga sarana mencari makna hidup, bukan lagi dominan dipakai untuk menghasilkan ide atau pencarian teknis.
Menurut Ang, tiga besar penggunaan AI pada 2025 adalah Therapy and Companionship (terapi dan teman curhat), Organize Life (mengatur hidup), dan Find Purpose (mencari tujuan hidup). Data tersebut berasal dari riset di Amerika Serikat yang diterbitkan di Harvard Business Review tahun 2025.
Tren ini berbeda dengan 2024, ketika tiga besar penggunaan AI masih lebih variatif, yakni Generate Idea, Therapy and Companionship, serta Specific Search.
Senada dengan Ang, Sekretaris Eksekutif Center for Digital Society (CfDS) UGM, Syaifa Tania, mencatat fenomena baru bahwa AI kini kerap dijadikan tempat curhat. Namun, ia menilai tren ini juga menghadirkan tantangan tersendiri.
“Ada fenomena baru terkait soal banyak orang yang curhat di AI. Nah ini hal yang di satu sisi menghadirkan tantangan karena kalau kita curhat, kita mengekspos banyak data pribadi, informasi personal,” kata Tania.
Simposium IRIS 2025 membahas empat isu utama penggunaan AI, yakni deepfake untuk penipuan finansial, pengawasan dan privasi dalam pembangunan digital, respons regional terhadap manipulasi informasi asing, serta peran informasi dalam ketahanan demokrasi.
Acara ini dibuka oleh Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri, serta Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM Wening Udasmoro.