
Badan Pusat Statistik (BPS) secara mendadak menunda rilis data kemiskinan dan tingkat ketimpangan Indonesia yang semula dijadwalkan hari ini, Selasa (15/7).
Penundaan dilakukan sebagai upaya memastikan ketepatan dan kualitas data yang akan disampaikan ke publik.
“Dalam rangka memastikan ketepatan dan kualitas data, Badan Pusat Statistik (BPS) akan menunda waktu rilis angka kemiskinan dalam beberapa waktu yang akan kami umumkan segera,” tulis BPS dalam pengumuman resminya melalui website bps.go.id, Selasa (15/7).
Penyesuaian ini, menurut BPS, merupakan bentuk komitmen dalam menyajikan informasi statistik yang akurat dan dapat dipercaya.
“Penyesuaian ini dilakukan sebagai bentuk komitmen BPS untuk menghadirkan data dan informasi statistik yang akurat dan tepercaya bagi seluruh pengguna data,” lanjut pernyataan itu.
Adapun, tingkat kemiskinan di Indonesia pada September 2024 mencapai angka 8,57 persen dari total populasi masyarakat Indonesia. Angka ini merupakan terendah sepanjang sejarah sejak BPS mulai mengumumkan data kemiskinan pada tahun 1960.

Persentase penduduk miskin pada September 2024 menurun sebesar 0,46 persen poin dibandingkan Maret 2024 yang berada di angka 9,03 persen. Jika dibandingkan dengan Maret 2023, persentase tersebut turun lebih tajam sebesar 0,79 persen poin.
Dari sisi jumlah, penduduk miskin pada September 2024 tercatat sebanyak 24,06 juta orang. Angka ini berkurang 1,16 juta orang dibandingkan Maret 2024 dan berkurang 1,84 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2023.
Lebih lanjut, penundaan rilis bukan yang pertama dilakukan BPS tahun ini. Sebelumnya, pada 15 Mei 2025, BPS juga secara mendadak menunda rilis data perkembangan ekspor dan impor Indonesia, yang biasanya diumumkan rutin setiap pertengahan bulan.
Keputusan tersebut dipublikasikan tanpa pemberitahuan sebelumnya dalam kalender rilis bulanan mereka, dan langsung diunggah melalui situs resmi BPS.
Penundaan data perdagangan itu terjadi bertepatan dengan masa tunggu 90 hari pemberlakuan kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat terhadap Indonesia. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dikenakan tarif dagang sebesar 32 persen. Hingga saat ini, negosiasi antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat masih berlangsung.
Saat itu, BPS menyatakan penyesuaian dilakukan untuk meningkatkan kualitas data perdagangan luar negeri Indonesia, terutama di tengah dinamika kebijakan internasional yang mempengaruhi transaksi ekspor-impor.