
MENJELANG Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, ada fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece oleh sejumlah anak muda di berbagai wilayah Tanah Air. Aksi itu pun viral di media sosial dan memunculkan beragam respons, dari dukungan hingga kecaman.
Staf Khusus (Stafsus) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Haryatmoko menilai fenomena ini tidak semata-mata sebagai tindakan iseng atau penghinaan terhadap simbol negara, tetapi sebagai bentuk ekspresi simbolik generasi muda yang mencerminkan keresahan sosial.
“Fiksi seperti One Piece bukan sekadar hiburan. Bagi penggemarnya, ini adalah narasi tentang perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang menindas. Dalam situasi ketika ruang formal terasa kurang menampung kritik, budaya populer menjadi kanal alternatif untuk menyampaikan pesan sosial,” ungkap Romo Haryatmoko dalam keterangan yang diterima (7/8).
Menurutnya, Pemerintah Dunia dalam kisah One Piece digambarkan sebagai simbol kekuasaan represif yang menyensor sejarah dan membungkam suara rakyat.
Maka, tak sedikit yang memaknai pengibaran bendera bajak laut itu sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di dunia nyata.
“Kritik sosial kini tidak hanya datang dari mimbar atau demonstrasi, tapi juga melalui media budaya populer seperti meme, cosplay, dan unggahan di media sosial. Ini yang disebut sebagai counter-hegemony, perlawanan naratif terhadap dominasi wacana penguasa,” jelas Romo.
Kepekaan pada Simbol Nasional
Namun demikian, ia menekankan pentingnya kepekaan terhadap simbol-simbol nasional, terutama Bendera Merah Putih yang bukan sekadar kain, melainkan lambang pengorbanan, identitas nasional, dan kedaulatan bangsa.
“Bendera Merah Putih adalah simbol sakral. Jika ada yang mengibarkan bendera lain pada momen sakral seperti Hari Kemerdekaan, banyak pihak bisa menganggapnya sebagai bentuk penodaan, bukan hanya ekspresi pribadi,” imbuhnya.
Romo Haryatmoko mengingatkan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, penghinaan terhadap simbol negara memiliki konsekuensi hukum serius. Antara lain:
- UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 huruf a melarang penggunaan Bendera Merah Putih untuk keperluan yang tidak patut, dengan ancaman pidana hingga 5 tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
- KUHP baru Pasal 240 menetapkan bahwa penghinaan terhadap bendera negara di muka umum dapat dikenai pidana hingga 5 tahun penjara.
“Ketentuan ini bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi, tetapi untuk menjaga kehormatan simbol negara yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata para pahlawan,” tegasnya.
BPIP, lanjut Romo, tidak memusuhi kreativitas anak muda maupun narasi fiksi. Justru sebaliknya, lembaga ini mendorong tumbuhnya nalar kritis yang konstruktif. Namun ia mengajak generasi muda agar kebebasan berekspresi tetap dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
“Mari rayakan kemerdekaan dengan kesadaran bahwa cinta tanah air dapat ditunjukkan melalui kreativitas, kritik sosial, dan penghormatan terhadap sejarah serta simbol-simbol perjuangan bangsa,” pungkas Romo. (M-3)