Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan impor bawang putih. Produksi domestik masih terpuruk dan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional, akibat lemahnya daya saing, rendahnya harga jual di tingkat petani, serta belum optimalnya integrasi hulu-hilir.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PR EPS) BRIN, Umi Karomah Yaumidin mengungkapkan tahun 1982 menjadi tonggak penting dalam sejarah swasembada bawang putih Indonesia. Keberhasilan swasembada ini didukung oleh luas panen di sentra-sentra utama seperti Temanggung (Jawa Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Enrekang (Sulawesi Selatan), yang memiliki agroklimat ideal untuk budi daya bawang putih.
"Pada periode tersebut, teknologi budi daya masih sederhana, namun cukup memadai untuk mendukung produktivitas. Selain itu, kebijakan pemerintah yang membatasi impor serta harga jual yang stabil turut mendorong minat petani untuk menanam bawang putih," jelas Umi dalam keterangannya, Minggu (10/8/2025).
Namun, sejak pertengahan 1990-an, terutama setelah 1994, Indonesia mulai membuka impor bawang putih secara lebih luas, terutama dari China yang menawarkan harga jauh lebih murah. Dampak liberalisasi perdagangan semakin terasa setelah krisis moneter 1998, ketika deregulasi perdagangan memperbesar volume impor dan menyebabkan petani lokal kehilangan daya saing.
Foto: Bawang putih impor dari China di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Rabu (23/4/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Bawang putih impor dari China di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Rabu (23/4/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Akibatnya, luas panen dan produksi nasional menurun drastis. Data menunjukkan pada 2000 impor bawang putih sudah mencapai 174,14 ribu ton, dan melonjak menjadi 587,94 ribu ton pada 2018.
Pada 2025, Kementerian Perdagangan menetapkan alokasi kebutuhan impor bawang putih sebesar 550.000 ton. Ketergantungan yang tinggi terhadap impor, terutama dari China, India, Taiwan, dan Amerika Serikat, mendominasi pasar bawang putih nasional saat ini.
Kondisi tersebut menyebabkan defisit pasokan bawang putih yang terus meningkat setiap tahun. Pada 2020, defisit ketersediaan bawang putih mencapai 393,65 ribu ton dan diproyeksikan terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya.
Konsumsi nasional pada 2020 diperkirakan sebesar 498,94 ribu ton, dengan proyeksi kebutuhan pada 2023 sekitar 517,93 ribu ton dan 2024 sebesar 526,77 ribu ton. Sehingga, lebih dari 90% konsumsi nasional dipenuhi melalui impor.
Umi mengemukakan, Pemerintah telah berupaya mengurangi ketergantungan impor melalui berbagai program, seperti penugasan wajib tanam kepada importir dan insentif budi daya di dataran tinggi.
"Namun, tantangan besar masih dihadapi. Antara lain rendahnya minat petani akibat harga jual yang kurang kompetitif, juga lemahnya integrasi antara sektor hulu (budi daya) dan hilir (pasar)," ucapnya.
(wur/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kantor Presiden Minta Kemendag Waspadai Bawang Putih, Pertanda Apa?