Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Menurutnya, kedua langkah tersebut mencerminkan komitmen politik Presiden untuk membangun rekonsiliasi nasional pascapemilu. Namun, ia menekankan bahwa keterbukaan informasi tetap dibutuhkan agar publik memahami dasar dan arah dari keputusan tersebut secara utuh.
“Langkah Presiden bisa dilihat sebagai upaya mengakhiri polarisasi politik dan membangun kesatuan. Tapi dalam negara hukum, transparansi tetap penting agar keputusan sebesar ini tidak menimbulkan keraguan,” ujar Hardjuno dalam keterangan tertulis, Minggu (3/8). Ia menyebut keberanian politik harus selalu berjalan beriringan dengan akuntabilitas publik.
Terkait abolisi terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Hardjuno menilai keputusan itu sebagai koreksi terhadap proses hukum yang sejak awal menyisakan kelemahan dalam aspek pembuktian. Ia merujuk pada kurangnya dasar mens rea atau niat jahat dalam perkara yang menjerat Tom dalam kasus impor gula. “Kebijakan publik yang dinilai keliru tidak serta-merta masuk ranah pidana jika tidak terbukti adanya niat jahat,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa secara konseptual, abolisi dipahami sebagai penghentian proses hukum dan pemulihan terhadap status hukum seseorang, seolah-olah tuduhan pidana tidak pernah terjadi. Namun, Hardjuno mengakui bahwa pemahaman tentang abolisi di kalangan ahli hukum masih beragam. Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan resmi mengenai dampak dan konsekuensi hukum dari keputusan tersebut.
“Dalam hal ini, negara penting menyampaikan narasi yang konsisten. Agar tidak muncul kesan bahwa ini adalah bentuk perlakuan khusus, melainkan bagian dari koreksi hukum yang adil,” tambahnya. Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan hukum bernuansa politik semestinya tetap dalam koridor keadilan substantif, bukan sekadar respons terhadap tekanan sosial atau elite politik.
Lebih lanjut, Hardjuno mengingatkan bahwa penegakan hukum akhir-akhir ini kerap kabur antara ranah etik, politik, dan hukum. Ia menilai keputusan Presiden menjadi penting bukan hanya karena efek hukumnya, tetapi juga karena nilai simboliknya dalam membedakan antara kesalahan administratif dan tindak pidana. “Kalau tidak dibedakan secara jernih, maka akan melemahkan iklim pengambilan keputusan di birokrasi,” ujarnya.
Untuk kasus amnesti Hasto Kristiyanto, Hardjuno memberikan apresiasi terhadap semangat persatuan yang melandasi kebijakan tersebut. Namun, ia menilai bahwa karena amnesti menghapus seluruh akibat hukum dari suatu putusan pidana, maka dampaknya terhadap persepsi publik jauh lebih besar. “Karena itu perlu komunikasi yang jelas, agar publik memahami ini sebagai upaya rekonsiliasi nasional, bukan pembelaan terhadap figur politik,” kata dia.
Ia menambahkan bahwa prinsip keadilan bukan hanya soal keputusan hukum, tetapi juga bagaimana keputusan tersebut dipahami dan diterima masyarakat. “Selama pemerintah mampu menjelaskan bahwa amnesti ini lahir dari proses korektif dan pertimbangan yang adil, maka publik akan melihatnya sebagai bagian dari langkah maju,” ujar Hardjuno.
Sementara itu, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Jumat (1/8), Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa kebijakan amnesti dan abolisi ini merupakan bagian dari agenda rekonsiliasi nasional menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. “Presiden ingin agar seluruh elemen politik bisa bersatu membangun Republik ini,” ujar Supratman.
Ia menyebutkan sebanyak 1.178 orang menerima amnesti, termasuk Hasto Kristiyanto, sementara Thomas Lembong menjadi satu-satunya penerima abolisi. Supratman menegaskan bahwa sejak awal, Presiden Prabowo konsisten menempatkan rekonsiliasi sebagai fondasi utama dalam membangun pemerintahan yang inklusif dan berorientasi persatuan nasional.