WAKIL Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkap alasan pimpinan parlemen enggan menemui peserta aksi dalam gelombang demonstrasi 25-31 Agustus 2025 di Kompleks Parlemen.
Politikus Partai Gerindra itu berdalih bahwa pimpinan sebetulnya ingin menemui para demonstran. Namun, mereka menilai situasi di lapangan sudah tidak lagi kondusif. “Kalau kemarin dalam aksi penyampaian pendapat sebenarnya kami juga mau keluar untuk menerima seperti pada hari ini,” ujar Dasco di Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, pada Rabu sore, 3 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Adapun pimpinan DPR baru menemui perwakilan massa aksi pada Rabu, 3 September 2025. Massa yang diundang untuk berdialog berasal dari elemen mahasiswa.
Audiensi ini dihelat setelah gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus 2025 berakhir dengan kerusuhan dan menyebabkan kematian setidaknya 10 orang dari masyarakat sipil.
Berbagai perwakilan mahasiswa, seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, BEM Universitas Trisakti, hingga BEM Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta bergantian menyampaikan tuntutan-tuntutan mereka.
BEM Seluruh Indonesia Kerakyatan, BEM SI Rakyat Bangkit, Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (Dema PTKIN), hingga Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) juga menyampaikan aspirasi mereka ke DPR.
Dasco lantas menambahkan, “Tetapi kalau yang kemarin-kemarin begitu kami mau keluar, itu sudah bukan murni pengunjuk rasa. Ada pihak-pihak penumpang gelap yang tentunya suasana di lapangan tidak kondusif.”
Dasco mengklaim parlemen selalu menerima aspirasi publik. Salah satunya dengan beraudiensi dengan perwakilan mahasiswa lewat rapat dengar pendapat umum.
Lalu, dia juga mencontohkan, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP hingga saat ini belum juga disahkan lantaran DPR masih mendengar masukan dari masyarakat. “Misalnya KUHAP itu sampai sekarang belum selesai-selesai karena memang masih terus menerima aspirasi dari publik maupun juga termasuk adik-adik dari mahasiswa,” ujar Dasco.
Gelombang demonstrasi di Jakarta dan berbagai wilayah Indonesia bermula pada Senin, 25 Agustus 2025. Massa aksi mendatangi Kompleks Parlemen untuk memprotes besaran tunjangan anggota DPR. Namun, gelombang demonstrasi yang bergulir berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan di berbagai lokasi di Indonesia.
Pada 28 Agustus 2025, massa dari kelompok buruh dan mahasiswa kembali menggeruduk DPR. Demonstrasi di depan gerbang utama kompleks DPR/MPR ini berlangsung ricuh. Puncaknya, ketika kendaraan taktis Brigade Mobil atau Brimob melindas Affan Kurniawan, 21 tahun, seorang pengemudi online di kawasan Rumah Susun Bendungan HIlir II, Jakarta Pusat.
Kematian Affan menyulut kemarahan publik. Para pengemudi ojek online seketika ramai-ramai mengepung Markas Komando Brimob Polda Metro Jaya, di Kwitang, Jakarta Pusat. Aksi berlangsung sampai keesokan harinya dan meluas hingga ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Bandung, Makassar dan Surabaya.
Eskalasi mulai terjadi pada Jumat malam, 29 Agustus 2025. Bentrok antara massa dan aparat di berbagai tempat demontrasi terus memanas.
Pada 1 September 2025, massa dari elemen mahasiswa kembali berunjuk rasa di depan gerbang utama DPR. Massa aksi itu berasal dari organ mahasiswa seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), hingga Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Tak hanya dari kalangan mahasiswa, demonstrasi itu dihadiri pula oleh sejumlah figur publik seperti Andovi Da Lopez, Jovial Da Lopez, Ge Pamungkas, hingga Ferry Irwandi.
Adapun pada 3 September 2025, Aliansi Perempuan Indonesia berdemonstrasi di Kompleks Parlemen. Aliansi mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan kekerasan negara terhadap para demonstran yang menyuarakan aspirasinya di jalanan. Setelah massa Aliansi Perempuan Indonesia membubarkan diri sekitar pukul 13.30 WIB, giliran mahasiswa dari Dewan Pimpinan Pusat GMNI mengambil alih panggung protes.