
MEMPERINGATI Hari Kanker Paru Sedunia, Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) menyerukan pentingnya penguatan sistem kesehatan nasional untuk penanganan kanker yang berorientasi pada pemenuhan hak pasien, dan selaras dengan perkembangan ilmu sains.
Dalam kegiatan Diskusi Media bertajuk “Akses Terapi Inovatif Kanker Paru: Perlunya Reformasi Regulasi & Optimalisasi JKN”, CISC juga menekankan empat hal utama dalam reformasi sistem Kesehatan nasional, yaitu, Ketersediaan informasi dan edukasi yang memadai mengenai kanker paru dan pengobatan terkini; Layanan kesehatan yang inklusif dan merata; Dukungan penanganan berbasis tim multidisiplin; serta Kemudahan dan keterbukaan akses terhadap terapi inovatif.
Tujuannya untuk memastikan agar pasien kanker paru dapat memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.
Kanker paru masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia maupun di Indonesia. Data GLOBOCAN 2022 mencatat 2,4 juta kasus baru kanker paru secara global, menyumbang 12,4% dari seluruh kasus kanker dan 18,7% total kematian akibat kanker.
Di Indonesia, kanker paru menyumbang 9,5% dari seluruh kasus kanker serta menjadi penyebab 14,1% kematian akibat kanker.
Sayangnya, sebagian besar pasien di Indonesia baru terdiagnosis ketika sudah memasuki stadium lanjut, sehingga peluang keberhasilan pengobatan semakin kecil.
Akses Terapi dan Obat Inovatif Masih Tertinggal
Sistem kesehatan nasional belum sepenuhnya menjamin hak pasien dalam mengakses terapi dan obat inovatif. Salah satu contohnya terapi target.
Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua untuk kanker paru dengan mutasi EGFR positif, padahal pengobatan sudah berkembang hingga generasi ketiga.
Terapi generasi 1 dan 2 memiliki keterbatasan karena tingkat penetrasinya ke otak rendah, sehingga efektivitasnya dalam mencegah atau mengendalikan penyebaran kanker paru ke otak lebih rendah dibandingkan terapi generasi 3.4
Padahal, sekitar 40% pasien kanker paru dengan mutasi EGFR berisiko mengalami metastasis ke otak.
Persoalan akses ini juga tidak lepas dari kenyataan bahwa ketersediaan obat inovatif di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain.
Mengutip PhRMA’s Global Access to New Medicines Report, dari 460 obat inovatif yang diluncurkan secara global sejak 2012–2021, hanya 9% yang tersedia di Indonesia—terendah di Asia Pasifik.
Untuk obat kanker, rata-rata Indonesia membutuhkan waktu 45-48 bulan (hampir 4 tahun) untuk mengadopsi obat kanker inovatif dari sejak peluncuran global, dan 71 bulan (hampir 6 tahun) untuk masuk pembiayaan publik.
Alokasi pembiayaan melalui JKN juga masih terbatas. Sepanjang 2024, BPJS Kesehatan mencatat biaya klaim pengobatan kanker sebesar Rp6,488 triliun. Angka ini setara dengan 17,4% dari total biaya penyakit katastropik, dan hanya 3,7% dari keseluruhan klaim layanan JKN sekitar Rp175,1 triliun.
Sementara itu, mengutip data yang dirilis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Kementerian Kesehatan ke publik, anggaran BPJS untuk kanker paru pada 2020-2021 hanya mendapat 2,1% (Rp73 Miliar) dari total anggaran kanker sebesar Rp3,5 triliun.
Sudah saatnya akses terhadap obat inovatif dan kebijakan kesehatan preventif ditempatkan sebagai prioritas nasional. Tanpa langkah konkret, pasien kanker paru akan terus tertinggal dari perkembangan pengobatan global.
Ketua Umum CISC Aryanthi Baramuli Putri menegaskan, “Negara harus menempatkan kebutuhan pasien sebagai prioritas utama dalam kebijakan kesehatan. Akses terhadap terapi dan obat inovatif harus menjadi agenda nasional, dengan dukungan pembiayaan publik yang berkelanjutan, proses yang sederhana, dan transparansi yang jelas.”
Ia menambahkan, “Kanker adalah penyakit katastropik dengan pengobatan jangka panjang yang mustahil ditanggung sendiri oleh pasien. Karena itu, Jaminan Kesehatan Nasional wajib menjamin hak pasien untuk memperoleh pilihan pengobatan terbaik sesuai kebutuhan, berkesinambungan, dan ditangani secara komprehensif oleh tim multidisiplin. Pasien juga berhak didengar serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan."
Suara Pasien: Harapan akan Dukungan Pemerintah, Masyarakat dan Komunitas
Patricia Susanna, penyintas kanker paru, mengungkapkan beratnya perjuangan yang harus dijalani.
“Sebagai penyintas kanker paru, kami tidak hanya berjuang melawan rasa sakit fisik, tetapi juga menghadapi tekanan psikologis, beban ekonomi, dan stigma sosial. Intervensi pemerintah sangat penting untuk meringankan beban kami melalui Jaminan Kesehatan Nasional yang memungkinkan kami memperoleh layanan dan pembiayaan kesehatan yang inklusif, serta akses terhadap terapi inovatif sesuai profil genetik dan kondisi spesifik pasien. Bagi kami, dukungan ini berarti kesempatan untuk terus hidup dengan harapan, dan dengan kualitas yang lebih baik.”
Tidak hanya itu, Patricia juga menyampaikan harapannya agar pemerintah dapat segera memperbanyak dan memeratakan fasilitas dan alat kesehatan khususnya untuk kanker agar diagnosa dapat lebih cepat dan tepat.
Senada dengan itu, Rachmayunila, penyintas kanker paru lainnya, menekankan pentingnya meningkatkan edukasi terkait skrining dan deteksi dini kanker paru bagi kelompok berisiko tinggi.
Ia mengingatkan bahwa stigma yang selama ini melekat—bahwa kanker paru hanya menyerang perokok aktif—sudah tidak lagi relevan.
Jurnal European Journal of Cancer, mencatat bahwa sekitar 10–25% kanker paru terjadi pada orang yang tidak pernah merokok secara global. Paparan polusi, termasuk polusi di tempat kerja (paparan zat karsinogen seperti radon dan asbestos), polusi udara, asap rokok pasif dan riwayat PPOK merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker paru.
“Perluasan skrining dan deteksi dini sangat penting agar kasus kanker stadium lanjut dapat ditekan dan pasien mendapat pengobatan lebih cepat. Komunitas pasien seperti CISC juga harus diberi ruang lebih besar sebagai jembatan suara pasien dalam kebijakan kesehatan. Selain itu, dukungan masyarakat dalam menghapus stigma dan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung akan sangat membantu penyintas kanker paru menjalani hidup lebih berkualitas,” ucap Rachmayunila.
“Pengalaman nyata pasien merefleksikan berbagai tantangan besar dalam penanganan kanker. Karena itu, kami berharap komunitas pasien dapat dilihat bukan sekadar pelengkap, tetapi sebagai mitra strategis yang terlibat sejak awal dalam perumusan kebijakan. Kami yakin, kolaborasi erat antara pemerintah, swasta, tenaga medis, dan masyarakat khususnya komunitas pasien akan menghadirkan perubahan nyata dalam penanganan kanker di Indonesia. Dengan demikian, kebijakan yang lahir tidak hanya sebatas teknis di atas kertas, melainkan benar-benar mencerminkan kebutuhan, harapan, serta perjuangan pasien untuk dapat hidup lebih berkualitas dan lebih bermakna,” tutup Aryanthi. (Z-1)