KETUA Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P. Wiratraman mengatakan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid soal seluruh tanah di Indonesia milik negara menyesatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herlambang menjelaskan makna dikuasai negara bukan berarti otomatis negara pemegang hak milik mutlak. Rakyat tetap pemilik tanah. Kata menguasai mengandung makna negara diberi kewajiban untuk mengatur, mengelola, serta mendistribusi manfaat untuk kemakmuran rakyat. " Jadi dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," katanya dalam keterangan tertulis, Ahad, 10 Agustus 2025.
Nusron sebelumnya mengatakan tanah telantar selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara. Menurut dia, pada dasarnya seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara, sementara masyarakat hanya diberi hak kepemilikan atas penggunaan tanah tersebut.
Bagi Herlambang, pandangan Nusron itu cara pandang kolonialisme Belanda. Belanda menggunakan perspektif masa domein verklaring untuk merampas tanah rakyat. Domein verklaring itu artinya tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai tanah negara. "Pemahaman itu merupakan cara penjajah merampas tanah-tanah rakyat sehingga melahirkan ketidakadilan sosial yang meluas," ucapnya.
Dewan pakar pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) tersebut menilai Nusron tidak paham atau patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ketika menafsirkan hak menguasai negara, khususnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Tafsir Nusron bertentangan secara konstitusi. Rakyat tetap pemilik tanah. Sementara itu negara diserahi mandat untuk menjalankan pelindungan hak atas tanah tersebut.
Nusron, kata dia, seharusnya memastikan tidak terjadi ketimpangan agraria dan ketidakadilan sosial akibat perampasan tanah untuk ekspansi perkebunan atau eksploitasi eksesif. Nusron juga harus memahami bahwa tanah digunakan untuk kepentingan rakyat.
"Artinya, tegas terhadap pemegang HGU (hak guna usaha) yang menguasai tanah secara berlebihan, atau berani mencabut aturan yang bertentangan dengan konstitusi atau bahkan hak asasi manusia," ucapnya.
Tempo sudah meminta pandangan Nusron mengenai hal ini. Namun politikus Golkar itu belum merespons hingga berita ini terbit.
Rabu 6 Agustus lalu, Nusron bilang terdapat sekitar 100 ribu hektare tanah yang berpotensi telantar. Pemerintah bisa menyita tanah tersebut jika resmi ditetapkan sebagai tanah telantar setelah melampaui masa sanggah selama dua tahun. Dia memastikan Kementerian ATR/BPN tidak sembarangan menyita dan menetapkan tanah telantar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Jonahar menjelaskan, penataan tanah telantar dilakukan berdasarkan jenis kepemilikannya. Evaluasi tanah telantar dan bisa disita hanya berlaku untuk pemegang HGU dan hak guna bangunan (HGB).
Menurut Jonahar, penertiban tanah hak milik hanya bisa dilakukan jika memenuhi kriteria tertentu yang telah diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Adapun tanah dengan status sertifikat hak milik bisa masuk kategori telantar jika dikuasai pihak lain hingga menjadi kawasan permukiman atau dikuasai pihak lain selama 20 tahun berturut-turut tanpa hubungan hukum dengan pemilik sah dan tidak menjalankan fungsi sosialnya, seperti membiarkan tanah kosong tanpa dimanfaatkan dalam waktu lama.