
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan yang mewajibkan peserta asuransi kesehatan menanggung sebagian biaya berobat melalui skema co-payment atau pembagian risiko. Dengan adanya aturan ini, minat masyarakat terhadap produk asuransi kesehatan dinilai bisa menurun.
Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 dan akan berlaku mulai 1 Januari 2026 untuk semua produk asuransi kesehatan, baik konvensional maupun syariah yang menggunakan skema ganti rugi (indemnity) dan pelayanan kesehatan terkelola (managed care).
Karena nantinya peserta asuransi diharuskan membayar minimal 10 persen dari total biaya klaim, perencana keuangan Andy Nugroho melihat hal ini akan berdampak pada minat masyarakat terhadap produk asuransi kesehatan.
“Sedikit banyak akan menurunkan minat masyarakat untuk memiliki asuransi kesehatan, karena bila melihatnya hanya secara sekilas tanpa membedah manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari asuransi kesehatan, maka masyarakat akan merasa rugi bila masih harus menanggung biaya sendiri ketika berobat,” ujar Andy kepada kumparan, Senin (9/6).
Meski begitu Andy mengungkap sebenarnya sebelum ada aturan OJK mengenai skema co-payment, sudah ada beberapa perusahaan yang menerapkan hal itu dalam produknya. Dengan adanya aturan ini maka beberapa perusahaan yang belum memiliki skema co-payment juga membutuhkan waktu untuk penyesuaian.
“Bila aturan tersebut benar-benar diterapkan maka perusahaan-perusahaan asuransi tentunya akan melakukan revisi aturan pada produk-produk asuransi kesehatan mereka untuk menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku,” ujarnya.
Selama ini, Andy melihat beberapa fokus orang yang ikut dalam produk asuransi kesehatan biasanya meliputi kemudahan akses pengobatan, kecepatan dan kenyamanan sampai plafon biaya pengobatan.
Terkait plafon biaya pengobatan, menurutnya masyarakat lebih suka asuransi dengan plafon biaya pengobatan yang lebih maksimal sehingga nasabah asuransi bisa mendapatkan perawatan kesehatan terbaik. Selain itu, fitur santunan untuk pendamping pasien juga menjadi fokus masyarakat saat ini.
“Adanya fitur yang memungkinkan orang yang mendampingi pasien yang mendapatkan perawatan di rumah sakit bisa mendapatkan santunan, sehingga bisa mengganti pengeluaran-pengeluaran yang terjadi selama mendampingi pasien berobat,” kata Andy.
Menambahkan Andy, perencana keuangan Mike Rini melihat salah satu dampak adanya aturan baru mengenai skema co-payment adalah perilaku nasabah asuransi kesehatan yang akan lebih berhati-hati dalam melakukan klaim.
“Karena semakin besar klaim semakin besar juga biaya yang harus ditanggung sendiri. Mereka juga akan terdorong lebih berhati-hati dalam memilih produk asuransi yang akan dibeli atau bagi yang sudah memiliki akan mengevaluasi kembali ketentuan klaim termasuk co-payment ini,” ujar Mike.

Selain itu, dengan adanya aturan ini Mike melihat masyarakat juga akan memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya dana darurat untuk kepentingan pembayaran 10 persen dari klaim asuransi kesehatan. Meski demikian Mike juga tak memungkiri beban masyarakat juga dapat bertambah.
“Terutama jika mereka tidak mampu membayar biaya tambahan saat mengajukan klaim. Hal ini dapat membuat kalangan tertentu ragu untuk membeli produk asuransi kesehatan,” kata Mike.
Dalam aturan itu, besaran yang harus dibayar peserta juga dibatasi maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap dalam satu kali klaim. Meski begitu, batas ini bisa lebih tinggi jika disepakati antara perusahaan asuransi dan pemegang polis serta tercantum dalam polis.
“Untuk rawat jalan Rp 300.000 per pengajuan klaim dan untuk rawat inap Rp 3.000.000 per pengajuan klaim,” tulis aturan itu.
Kewajiban membayar sebagian klaim ini, menurut OJK, merupakan bagian dari penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Tujuannya adalah agar perusahaan asuransi lebih sehat secara keuangan, serta mencegah praktik over-klaim yang bisa membebani sistem.
Tak hanya itu, perusahaan asuransi kini juga memiliki kewenangan untuk menyesuaikan premi berdasarkan riwayat klaim dan inflasi kesehatan. Artinya, premi bisa naik saat perpanjangan polis, atau bahkan di luar periode tersebut jika disetujui oleh peserta.
“Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan Premi dan Kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan Polis Asuransi berdasarkan riwayat klaim Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan/atau tingkat inflasi di bidang kesehatan,” tulis beleid itu.
Namun, ada pengecualian untuk produk asuransi mikro yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam produk ini, pembagian risiko tidak diberlakukan.
Langkah OJK ini menandai perubahan penting dalam praktik asuransi kesehatan di Indonesia.
Meski tujuannya memperkuat keberlanjutan industri, aturan ini berpotensi memicu kekhawatiran masyarakat yang selama ini mengandalkan asuransi sebagai jaminan penuh dalam biaya kesehatan.