
DOSEN senior di School of Population Health, Fakultas Kedokteran UNSW Sydney, Anthony Paulo Sunjaya mendesak dibentuknya tim pencari fakta independen guna mengusut adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa demonstrasi di sejumlah daerah di Indonesia yang berakhir ricuh pada Agustus lalu.
Anthony sejumlah diaspora di Australia sangat prihatin terhadap kondisi Tanah Air. Ia menekankan pentingnya mengambil tindakan-tindakan segera untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, atas kinerja pemerintah.
Anthony juga mendesak untuk dibentuknya tim pencari fakta independen untuk menginvestigasi pelanggaran dan pelanggar hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di lapangan saat demo Agustus.
"Tindak tegas yang bersalah. Jauhi pendekatan militerisasi berikut intervensi yang terlalu dalam/jauh aparaturnya dalam menangani keamanan, apalagi sampai ke arah Darurat Sipil. Di atas itu semua, yang jauh lebih penting adalah, reaksinya jangan hanya bersifat reaktif, tapi harus substansial, menyentuh akar masalah,” kata Anthony melalui keterangannya, Sabtu (6/9).
Ia mengatakan diaspora mengaku frustasi karena momentum yang seharusnya untuk berbenah, tak kunjung diambil. Rasa frustrasi itu bertambah karena semakin tertutupnya ruang demokrasi karena hanya melibatkan dari elite untuk elite.
Sementara itu, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad menyebut aksi unjuk rasa yang terjadi di dalam negeri tidak terlepas dari dinamika luar negeri. Peristiwa domestik ditangkap oleh, dan memengaruhi, dunia internasional, begitu pula sebaliknya.
Ia mengatakan pemandangan dalam negeri kita hari-hari ini jika diringkas, adalah pemandangan meningkatnya ketidakpastian dari berbagai pihak dan anjloknya kepercayaan rakyat terhadap kinerja pengurus negara.
“Pelemahan institusi menyebabkan disfungsi mekanisme demokrasi. Disfungsi mekanisme demokrasi membuat suara rakyat jadi tidak lagi relevan. Alhasil, setiap muncul kekecewaan atau ketidakpuasan rakyat, alih-alih tidak punya kecakapan menanggapi, eh, malah dijogetin,” ujar Shofwan.
Wartawan senior Budiman Tanuredjo juga menyoroti unjuk rasa pada 25 maupun 28 Agustus 2025, hampir semua aparatus demokrasi, yaknicpartai politik, organisasi massa berdiam diri. Selama 36 jam, yakni 28 hingga 30 Agustus, ia melihat elite bingung bagaimana harus bersikap atau memutuskan. Padahal, kata ia, melalui teknologi informasi mutakhir, semua kejadian itu lebih mudah diakses dan dipantau dibanding era-era sebelumnya.
Bambang menyodorkan solusi struktural dengan dibentuknya tim atau komite reformasi independen.
"Isinya adalah orang-orang yang integritasnya bereputasi tinggi agar punya otoritas kuat dalam mengawal semua tuntutan, mereformasi semua lini pengurus negara, sambil juga mengerjakan semacam tim pencari fakta," pungkasnya. (Faj/P-2)