Universitas Gadjah Mada (UGM) menonaktifkan YHF, dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh BPOM RI atas praktik layanan sekretom ilegal.
Juru Bicara UGM, I Made Andi Arsana, menegaskan universitas mendukung penuh proses hukum yang sedang berjalan.
“Sebagai langkah cepat, YHF telah dinonaktifkan dari kegiatan tridharma perguruan tinggi, agar yang bersangkutan dapat fokus menghadapi kasus hukumnya,” kata Andi dalam keterangan tertulis yang diterima Pandangan Jogja, Rabu (27/8).
Ia juga menegaskan bahwa YHF tidak pernah menggunakan fasilitas laboratorium kampus untuk memproduksi sekretom sebagai bahan terapi sel punca.
“Segala praktik layanan sekretom maupun terapi stem cell yang dilakukan di luar sepengetahuan universitas atau fakultas, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi yang bersangkutan,” ujarnya.
Andi menambahkan, UGM tetap menjunjung asas praduga tak bersalah dalam perkara ini.
Dikutip dari siaran pers resmi BPOM RI, kasus ini berawal dari temuan sarana peredaran produk sekretom ilegal di Magelang, Jawa Tengah, pada 25 Juli 2025. Praktik tersebut dilakukan di sebuah klinik dokter hewan di Kelurahan Potrobangsan, Magelang Utara, yang ternyata melayani pasien manusia. Pemilik sarana berinisial YHF (56 tahun), berprofesi sebagai dokter hewan dan staf pengajar di UGM, diduga memproduksi sendiri produk sekretom tanpa izin edar.
Dari hasil pemeriksaan, PPNS BPOM menemukan produk sekretom yang sudah dikemas dalam tabung eppendorf 1,5 ml siap suntik, 23 botol berukuran 5 liter yang disimpan dalam kulkas, serta produk krim mengandung sekretom untuk pengobatan luka. Nilai keekonomian barang bukti tersebut mencapai sekitar Rp230 miliar.
Produk sekretom ilegal tersebut telah digunakan oleh pasien yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Pasien di wilayah Pulau Jawa yang pernah dilayani di sarana tersebut dapat dikirimkan produk sekretom untuk melanjutkan terapinya dengan bantuan tenaga kesehatan terdekat.
“Sementara untuk pasien-pasien yang berasal dari Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, atau wilayah lain di luar Pulau Jawa, termasuk dari luar negeri, melakukan pengobatan langsung di sarana tersebut,” terang Kepala BPOM, Taruna Ikrar, Rabu (27/8).
Taruna menegaskan, tindakan ini melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara hingga 12 tahun atau denda maksimal Rp5 miliar. Seluruh barang bukti kini disita dan disimpan di Balai Besar POM (BBPOM) Yogyakarta untuk kebutuhan penyidikan lebih lanjut.