
Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, mempersoalkan hasil audit yang diterbitkan BPKP terkait kerugian negara yang timbul dalam kasus korupsi impor gula. Tom mengaku tak diberikan izin untuk melihat dokumen penghitungan kerugian negara tersebut.
Hal ini disampaikannya saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam sidang kasus dugaan korupsi importasi gula di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (9/7).
Tom mulanya menyoroti adanya perubahan kerugian negara yang timbul dalam perkara korupsi yang menjeratnya itu.
Awalnya, pada Oktober 2024, Kejaksaan Agung menyatakan korupsi itu merugikan negara Rp 400 miliar. Empat bulan berselang, kerugian negara bertambah menjadi Rp 578 miliar.
Menurut dia, perubahan nilai tersebut terjadi karena Kejaksaan atau BPKP mengubah dasar penghitungannya. Tom menyebut hal ini seperti 'menggeser gawang'.
"Kita pun tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan Kejaksaan atau BPKP dalam mengubah dasar perhitungan Kerugian Negara yang dituduhkan, karena Kejaksaan tidak menyampaikan Audit BPKP pada saat menjatuhkan Dakwaan pada saya – sebuah pelanggaran yang serius atas hak saya sebagai Terdakwa, bahwa saya dan Penasihat Hukum saya tidak dapat melihat apa yang menjadi dasar perhitungan Kerugian Negara yang dituduhkan," kata Tom.
Setelah 13 kali sidang bergulir, Tom menyebut, hasil audit BPKP itu baru diserahkan ke Majelis Hakim. Hal tersebut pun dilakukan setelah saksi fakta rampung diperiksa, sehingga Tom tak bisa lagi menggali soal kejanggalan dalam hasil audit tersebut.
"Belum lagi BPKP dan Kejaksaan Agung RI menolak untuk memperlihatkan 'Kertas Kerja' para auditor BPKP yang mengaudit perkara saya, meskipun telah dibeberkan secara jelas, berbagai kejanggalan dan bahkan error atau kesalahan matematis yang terang benderang terlihat dalam Audit BPKP tersebut," ungkap dia.
"Dan saya menyesali bahwa majelis hakim tidak dapat mengabulkan permohonan penasihat hukum saya, untuk menerbitkan sebuah Penetapan yang memaksa Auditor BPKP untuk memperlihatkan 'kertas kerja' audit perkara kepada persidangan. Karena sudah jelas kertas kerja tersebut akan sangat membantu mengungkapkan kebenaran dalam persidangan ini," tambahnya.

Sementara itu, pengacara Tom, Ari Yusuf Amir, menambahkan terkait hasil audit BPKP itu semakin menunjukkan perkara ini direkayasa. Salah satunya adalah hasil audit yang diserahkan 7 hari sebelum ahli BPKP diperiksa.
"Padahal seharusnya audit ini diserahkan sebelum pemeriksaan saksi fakta dilakukan. Karena isi audit tersebut sebagian besar bersumber dari keterangan saksi di tahap penyidikan. Akibatnya, kami kehilangan hak untuk menguji secara langsung kebenaran dasar audit tersebut," ungkap Ari.
Selain itu, ahli BPKP yang dihadirkan dalam persidangan bukanlah orang yang sama saat diperiksa dalam proses penyidikan. Hal ini membuat ahli tersebut tak bisa menjawab hasil audit yang telah dibuat.
"Lebih aneh lagi Ketika kami meminta dilakukan konfrontir antara ahli dari BPKP tersebut dengan ahli yang kami hadirkan, ditolak oleh majelis hakim, padahal ini sangat penting untuk membuktikan bahwa semua keterangan dari ahli BPKP tersebut tidak benar dan mengada-ada, semata mata hanya memenuhi permintaan dari pihak kejaksaan agar sesuai dengan targetnya," beber Ari.
Dalam kasusnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Tom Lembong dihukum 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa meyakini bahwa Tom Lembong terbukti bersalah dan terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar.
Usai dituntut 7 tahun penjara, Tom Lembong menilai bahwa isi dari surat tuntutan jaksa sama sekali mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan selama ini.
Tom juga mengaku kecewa lantaran tak adanya pertimbangan jaksa terkait sikap kooperatif yang telah dia tunjukkan selama ini.