
Pengenaan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpotensi mengguncang industri Indonesia, yang akan berujung salah satunya kepada penurunan nilai ekspor.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan selain tarif Trump sebesar 32 persen, Indonesia juga terancam tarif yang akan dikenakan terhadap anggota BRICS sebesar 10 persen.
Hasil studi CELIOS memperkirakan dampak pengenaan tarif 32 persen akan menimbulkan kehilangan serapan kerja hingga 1,2 juta orang karena imbas ke sektor padat karya seperti pakaian jadi, alas kaki beserta produk ekspor lain yang signifikan.
Selain itu, estimasi penurunan nilai ekspor Indonesia sebesar Rp 105,98 triliun dan pendapatan masyarakat terkoreksi Rp 143,87 triliun. Dengan berlakunya tarif resiprokal per 1 Agustus maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyentuh di level 4,7-4,8 persen (year on year/yoy).
"Jadi ini cukup signifikan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, karena beberapa sektor padat karya masih bergantung pada Amerika Serikat. Alas kaki, pakaian jadi, dominan ke Amerika," ungkap Bhima saat dihubungi kumparan, Jumat (11/7).

Bhima menjelaskan, untuk mengurangi dampak tersebut, Indonesia sudah harus mencari pasar baru selain AS, salah satunya negara ASEAN, Asia Selatan, BRICS, atau Timur Tengah, hingga Amerika Latin.
"Mau enggak mau memang harus terus melakukan perluasan pasar ekspor, dan selanjutnya yang perlu disiapkan efek terhadap PHK selama masa transisi diversifikasi ekspor itu, PHK massalnya itu harus di-manage di industri padat karya," jelasnya.
Untuk meminimalisasi dampaknya kepada PHK di industri padat karya ini, Bhima menilai pemerintah perlu menggelontorkan insentif dan bantuan khususnya untuk industri manufaktur.
Menurutnya, selama ini paket stimulus ekonomi masih terlalu kecil dan terbatas seperti bantuan subsidi upah dan insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) hanya untuk beberapa sektor saja.
"Jadi yang harus dilakukan oleh pemerintah itu memberikan paket kebijakan yang lengkap, termasuk untuk memberikan diskon tarif listrik pada sektor industri padat karya, misalnya sampai 40 persen selama 1 tahun. Kemudian juga proteksi terhadap produk-produk impor," tutur Bhima.
Selain bantuan atau insentif, lanjut Bhima, pemerintah juga perlu mencegah arus barang impor terutama di pusat kawasan berikat, serta memperkuat permintaan terhadap produk dalam negeri.
"Itu untuk mencegah terjadinya PHK masal dan juga penurunan daya beli masyarakat, terutama di kantong-kantong industri padat karya," tutup Bhima.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Telisa Aulia, menilai dampak tarif Trump sebesar 32 persen pasti ada, namun diharapkan tidak terlalu besar.
"Kita harus memilah, karena kan memang Amerika itu kan pasar ekspor kita itu cuma sekitar maksimum 10 persen-an ya, jadi tidak semua ke AS," tuturnya.
Namun demikian, Telisa melihat dampak tarif terhadap kinerja ekspor nasional ini juga bisa terjadi imbas perbandingan tarif yang dikenakan kepada negara pesaing, seperti Vietnam yang hanya berhasil menurunkan tarifnya menjadi 20 persen.
"Kita harus melihat secara diferensialnya perbedaan tarif kita dengan negara lain. Misalkan Vietnam 20 persen, kita 32 persen, berarti nanti ada produk-produk yang biasanya kita ekspor, itu bisa diambil alih oleh Vietnam," jelas Telisa.
Dia menyebutkan, industri padat karya menjadi sektor yang paling terdampak, namun hal ini bisa diredam dengan diversifikasi pasar ekspor selain AS.
"Diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara di luar Amerika, itu juga tidak semudah itu, tapi memang itu salah satu upaya way out yang kita lakukan itu dengan diversifikasi ekspor dan meningkatkan pasar ekspor non AS," tandas Telisa.