
Belum lama ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum mengeluarkan semacam 'fatwa' tentang royalti performing rights. DJKI menjelaskan, izin pencipta atau pemegang hak cipta tidak diperlukan ketika berkaitan dengan performing rights.
DJKI merujuk ke Pasal 23 ayat (5) dan pasal 87 UUHC, di mana pelaku usaha atau pengguna Layanan Publik bersifat Komersial cukup membayar royalti satu kali secara terpusat, yang selanjutnya didistribusikan kepada para pencipta dan pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Piyu, menyayangkan fatwa tersebut.
"Saya di sini menyayangkan sekali, Dirjen DJKI yang sekarang ini, Pak Razilu, tidak tahu proses yang sudah kami perjuangkan sejak lama," kata Piyu dalam konferensi pers di Fatmawati, Jakarta Selatan, Selasa (24/6).

Piyu menjelaskan, sejak 2020, DJKI masih di bawah Dirjen Freddy Harris, lalu berganti dengan Min Usihen. Selama itu juga, Piyu dan kawan-kawan sudah menjalankan beberapa langkah untuk memperjuangkan hak pencipta lagu.
"Perjuangan kami, dari tentang PP Lisensi Digital, terus kita mau merevisi PP 56, lalu sekarang kami mau ajukan revisi UU Hak Cipta, saya rasa Pak Razilu tidak mengikuti itu. Tapi kenapa tiba-tiba dia menyampaikan statement seperti itu," jelas Piyu.
Sebagai musisi sekaligus Ketua AKSI, Piyu meminta agar DJKI meralat pernyataan tersebut.
"Kembali lagi, bahwa hak pencipta lagu itu dilindungi juga, bahwa negara tidak bisa mencampuri atau mengambil alih hak seseorang termasuk hak cipta," tuturnya.

Di sisi lain, Piyu menganggap bahwa Dirjen DJKI tidak paham mengenai fungsi dan tugas LMKN, apakah sudah benar atau tidak.
"Harusnya mereka mengawasi kerjaan LMKN, bukannya memberikan ruang kepada LMKN untuk membuat seolah pencipta ini tidak memiliki hak untuk menuntut haknya," ucap Piyu.
Piyu: LMKN Dibubarkan Saja
Kesadaran mengenai bobroknya sistem LMKN mendorong Piyu dan AKSI untuk menerapkan sistem direct lisencing. Bagi Piyu, ada banyak pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang LMKN sebagai atribut UU Hak Cipta.
"Harusnya diberi kesempatan, kalau ada pelanggaran LMKN yang maju, kenapa kami? AKSI, menuntut, mensomasi, dan terjadi pelanggaran. Maka, LMKN dibubarkan aja kalau memang tidak mampu, harusnya begitu," ungkap Piyu.

Piyu menyampaikan bahwa DJKI harusnya menyoroti LMKN, bukan justru menyunat hak pencipta lagu yang merasa dirugikan.
"Harusnya statement mereka 'kita bubarkan aja (LMKN)'. Harusnya begitu. Bukan malah memberikan statement seperti 'pencipta tidak boleh menuntut haknya dan semua harus diberikan pada LMKN', itu salah banget," tegas Piyu.
Dalam waktu dekat, Piyu memastikan AKSI bakal menggugat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional dalam waktu dekat.
Dalam hal ini, Piyu menyebut LMKN harus membebaskan semua penyanyi untuk memilih, mau bayar lewat LMK, atau direct lisence ke pencipta.