
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengajak DPR RI untuk tidak melihat keberadaan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai beban. Alih-alih sebagai beban, Ia ingin SBN dipandang sebagai instrumen investasi yang aman.
Hal ini merupakan tanggapan dari Sri Mulyani atas pandangan Fraksi PKB dan Nasdem pada Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan IV pada Selasa (8/7) lalu terkait pertanggungjawaban dan pelaksanaan APBN TA 2024. Dalam rapat sebelumnya itu, Fraksi PKB dan Nasdem meminta pemerintah terkait pengelolaan SBN yang harus dikelola secara hati-hati.
“Namun mari kita lihat dari sisi demand atau permintaan lembaga-lembaga baik itu pensiun, asuransi, perbankan bahkan masyarakat kecil telah memegang surat penghargaan negara kita, mereka menggunakan instrumen investasi yang aman ,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-24 Masa Persidangan IV pada Selasa (15/7) di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat.
Untuk itu, Ia akan terus melakukan edukasi mengenai peran SBN untuk tidak selalu dipandang sebagai utang pemerintah namun sebagai alat investasi yang bisa dipercaya.

Selain terkait SBN, Ia juga berkomitmen untuk tetap menjaga profil utang Indonesia. Ia menuturkan pemerintah akan terus mengelola utang secara pruden dan terukur. Sebelumnya pada Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan IV pada Selasa (8/7) lalu DPR RI juga sempat menyoroti profil utang.
“Mengenai kesehatan utang, kami terus akan waspadai risiko suku bunga utang, risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan ulang atau refinancing terus kami monitor dan tetap berada pada batas aman, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, Sri Mulyani juga menekankan pendalaman pasar uang dan pasar obligasi di Indonesia masih harus terus ditingkatkan.
“Berarti kita harus bekerja dengan otoritas moneter, OJK dan industri keuangan,” kata Sri Mulyani.
Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23 lalu, perwakilan Fraksi PKS, Abdul Fikri menuturkan fraksinya mencermati peningkatan rasio utang pemerintah terhadap PDB pada akhir 2024 yang mencapai 39,81 persen atau naik dari tahun sebelumnya 39,21 persen.
“Di dalamnya termasuk kenaikan posisi utang SBN jangka pendek pada 31 Desember 2024 hingga mencapai 98,71 persen year on year. Ini berpotensi meningkatkan beban APBN untuk pembayaran utang tahun 2025,” kata Abdul.
Fraksi PKS juga menyoroti kenaikan beban pembayaran bunga utang sebesar 11,04 persen dari Rp 439,88 triliun tahun 2023 menjadi Rp 488,43 triliun tahun 2024.

Selain Abdul, perwakilan Fraksi Demokrat Lokot Nasution juga menyoroti realisasi belanja negara tahun 2024 sebesar Rp 3.350,3 triliun dipandang masih didominasi salah satunya untuk pembayaran bunga utang.
“Struktur belanja yang masih didominasi, belanja rutin dan pembayaran bunga utang belum menunjukkan arah yang optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” kata Lokot.
Untuk itu ia mendorong agar pemerintah memastikan setiap belanja diarahkan untuk memperkuat produktivitas nasional dan memperbesar multiplier effect terhadap perekonomian.
Terkait rasio utang tahun 2026 nanti, Kementerian Keuangan saat ini menarget rasio utang pemerintah pada tahun 2026 berada di kisaran 39,66 persen hingga 39,73 persen terhadap PDB. Selain itu, indikator imbal hasil atau yield SBN ditargetkan dengan rentang 6,6 persen sampai 7,2 persen di 2026.