Muliadi Saleh
Sejarah | 2025-08-16 21:18:04
Oleh: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi
Pemuda Penuh Semangat. Tetap.Ceria
Bulan Agustus selalu datang dengan wajah yang berbeda. Di sepanjang jalan, merah putih berkibar, gapura kampung dihias, dan lampu-lampu hias berkelip di malam hari. Namun, yang membuat semarak kemerdekaan benar-benar hidup bukan hanya bendera dan lampion, melainkan juga pemuda dan remaja yang bergerak, mengisi ruang-ruang kecil kehidupan dengan kreativitas dan partisipasi mereka.
Di lorong-lorong sempit, kita melihat anak-anak muda yang tak kenal lelah memasang umbul-umbul. Tangan mereka penuh cat merah dan putih, pakaian mereka belepotan, namun wajah mereka berseri-seri. Di pos ronda, para remaja berdiskusi hingga larut malam, memikirkan lomba apa yang bisa digelar agar warga terhibur. Ada yang mengusulkan balap karung, ada yang mendorong lomba tarik tambang, bahkan ada yang berinisiatif menghadirkan panggung seni. Dari tangan dan pikiran mereka, perayaan kemerdekaan tumbuh menjadi pesta rakyat.
Pemuda adalah nyawa kemerdekaan. Dahulu, pada tahun 1928, sumpah mereka mengguncang sejarah: Sumpah Pemuda yang menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air. Kini, di usia ke-80 republik, semangat itu tak boleh padam. Walau tantangan zaman berbeda—bukan lagi penjajahan fisik, melainkan arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan derasnya informasi—pemuda tetap menjadi garda terdepan.
Dalam semarak HUT RI, kita melihat bagaimana pemuda menjadikan kemerdekaan bukan sekadar simbol, melainkan perayaan kolektif. Remaja putri melatih anak-anak menari di lapangan, pemuda masjid mengatur lomba adzan dan hafalan doa, komunitas motor mengawal kirab bendera, karang taruna mempersiapkan panggung musik. Semua bergerak dengan caranya masing-masing, membuktikan bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab bersama.
Mereka sadar, merdeka bukan hanya tentang mengibarkan bendera, tetapi juga tentang menghidupkan semangat gotong royong. Ketika para remaja berkeliling mengetuk pintu rumah warga untuk mengumpulkan iuran lomba, ketika pemuda bersedia menjadi panitia tanpa pamrih, di situlah kita menyaksikan api kemerdekaan menyala di dada mereka.
Pemuda juga adalah ruang kreativitas. Jika dulu mereka mengangkat senjata, kini mereka mengangkat ide. Festival mural, lomba desain poster, kompetisi e-sport, hingga kreasi video pendek bertema kemerdekaan menjadi wajah baru Agustusan. Dari kampung hingga kota, dari lapangan hingga ruang digital, mereka menyalakan obor semangat dengan cara yang sesuai zaman.
Namun, partisipasi pemuda bukan hanya untuk bersenang-senang. Ada tanggung jawab yang mereka pikul: memastikan bahwa nilai-nilai perjuangan tetap diwariskan. Saat mereka memimpin upacara bendera di sekolah, melantunkan lagu Indonesia Raya dengan suara lantang, atau sekadar mengatur barisan peserta lomba, mereka sedang merawat ingatan kolektif bangsa ini. Bahwa kemerdekaan diraih dengan darah dan air mata, dan tugas generasi muda adalah menjaga agar ia tidak pudar.
Malam puncak perayaan 17 Agustus selalu menjadi simbol kebersamaan itu. Di panggung sederhana, remaja menampilkan tarian daerah, pemuda memainkan musik, dan anak-anak tertawa melihat drama pendek penuh canda. Di antara sorak dan tepuk tangan, ada getaran halus di hati: Indonesia tetap hidup karena pemudanya tak pernah lelah menjaga nyala api kemerdekaan.
Orang Tua Tak Ketinggalan Beri Semangat
Pemuda dan remaja adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dari mereka, kita belajar bahwa kemerdekaan bukan monumen kaku, melainkan sesuatu yang harus dirawat setiap hari. Bahwa merah putih bukan hanya kain, melainkan semangat yang ditenun dengan kebersamaan.
Dan selama pemuda masih mau berkeringat, selama remaja masih mau bergembira sambil bekerja, selama mereka terus mengisi Agustus dengan kreativitas, maka kita bisa yakin: api kemerdekaan itu tak akan pernah padam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.