Social Disobedience, Apakah Ini Jalan untuk Menjaga Demokrasi Indonesia?

9 hours ago 3
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh ACHMAD ROOM FITRIANTO, Ph.D; Dosen Ekonomi Perubahan Sosial, FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya, Alumni Curtin University, Australia

REPUBLIKA.CO.ID, Amarah publik di pengujung Agustus 2025 kembali mengingatkan kita betapa rapuhnya demokrasi di negeri ini. Rangkaian demonstrasi yang berujung bentrokan pada 28–30 Agustus, dengan puncak tragedi meninggalnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, memperlihatkan betapa tipis batas antara protes damai dan amuk massa.

Bagi saya, peristiwa ini menorehkan luka lama. Pada 1998, korban reformasi adalah kawan sebaya saya; kini, korban adalah mereka yang seusia anak-anak kita. Pertanyaan mendasar pun muncul: mau ke mana arah bangsa ini bila kekerasan negara dan ledakan amarah rakyat terus berulang dalam lingkaran yang sama?

Sejarah kita kerap memperlihatkan wajah kelam amuk massa. Dari Tanjung Balai di 1918, 1946, hingga 1998, kita belajar bahwa sebuah percikan kecil dapat berubah menjadi letupan besar. Istilah “amok” bahkan telah lama dikenal bangsa Eropa untuk menyebut fenomena khas di dunia Melayu: kemarahan yang meledak tiba-tiba, tanpa kendali, dan sering meninggalkan jejak kehancuran.

Amuk bisa lahir dari kesedihan personal maupun kemarahan kolektif yang merusak tatanan sosial. Pada masa Revolusi Sosial Sumatra Timur 1946, amuk massa bahkan menelan korban dari rakyat sendiri, termasuk tokoh nasional Amir Hamzah. Tanjung Balai hanya satu episode dari banyak kasus serupa di tanah air. Intoleransi, provokasi, dan kegagapan dalam mengelola perbedaan membuat benih amarah terus terpelihara. Di balik keramahan bangsa ini, tersimpan bara yang mudah meledak kapan saja.

Karena itu, membaca amuk bukan sekadar mengingat sejarah, melainkan mencari jalan baru: bagaimana mengubah energi perlawanan rakyat menjadi aksi terarah yang memperkuat demokrasi, bukan menghancurkannya.

Amuk Agustus lahir dari tiga faktor. Pertama, beban struktural: rencana kenaikan PBB hingga 250 persen di Pati menjadi sumbu awal, seolah negara mengedepankan efisiensi fiskal tanpa memperhatikan daya tahan ekonomi warga. Kedua, simbol ketidakpekaan elit: kenaikan tunjangan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan yang berbarengan dengan video joget di forum kenegaraan. Ketiga, katalis tragis: kematian Affan, yang seketika menjelma simbol solidaritas rakyat kecil.

Di titik ini, terlihat jelas masalah sinkronisasi kebijakan. Negara bicara efisiensi fiskal, namun gagal menjaga harmoni sosial. Kebijakan yang menekan rakyat kecil sementara elit justru menikmati privilese, hanyalah undangan bagi konflik sosial.

Namun, sejarah memberi kita pilihan. Tan Malaka dalam Aksi Massa menegaskan bahwa amarah rakyat hanya menjadi kekuatan sejati bila terorganisir, disiplin, dan dipandu tuntutan yang jelas. Bedanya sederhana: amuk massa hanyalah letupan destruktif, sementara aksi massa adalah energi terarah yang berdaya ubah.

Sayangnya, protes Agustus 2025 masih lebih banyak bercorak spontanitas. Ia menekan kebijakan, tetapi juga meninggalkan luka sosial. Di titik inilah kita perlu strategi: bagaimana mengubah amarah menjadi daya tawar politik, bukan sekadar pelampiasan sesaat.

Ada lima langkah yang bisa ditempuh. Pertama, rumuskan tuntutan konkret—dari moratorium pajak lokal hingga reformasi kepolisian. Kedua, bangun disiplin massa lewat kaderisasi, pelatihan non-kekerasan, dan simpul gerakan yang kokoh. Ketiga, bentuk koalisi lintas kelompok—buruh, mahasiswa, komunitas ojol, akademisi, advokat, dan ekonom harus bersatu dalam kontrak sosial minimum. Keempat, atur strategi bertahap agar protes tidak selalu berujung bentrokan, tetapi tetap menjaga simpati publik. Kelima, kelola memori kolektif—dari korban 1998 hingga Affan—sebagai pengingat bahwa keadilan hanya hadir bila rakyat terus berdaya.

Amuk massa bukanlah anomali, melainkan bagian dari sejarah panjang bangsa ini. Tetapi kita tidak boleh berhenti pada amarah. Tugas kita hari ini adalah menjadikannya energi politik yang konstruktif.

Jika tuntutan rakyat jelas, disiplin massa ditegakkan, dan strategi non-kekerasan dipilih, maka amarah dapat menjadi obor perubahan, bukan api yang membakar rumah sendiri. Untuk Affan, untuk para korban 1998, dan untuk anak-anak kita, marilah kita jaga amarah agar tidak lagi menjadi kutukan sejarah, melainkan sumber kekuatan memperkuat demokrasi Indonesia.

Read Entire Article