PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang melakukan konservasi pedestal atau tiang Tugu Pancoran, monumen ikonik di Jakarta Selatan yang lebih dikenal dengan nama Patung Dirgantara. Dilansir dari Antara, 16 Agustus 2025, langkah ini diambil sebagai upaya menjaga kelestarian cagar budaya yang diwariskan dari para pendahulu.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Mochamad Miftahulloh Tamary mengatakan, kondisi pedestal Patung Dirgantara sudah tidak lagi prima. Cat pada tiang banyak terkelupas dan permukaan ditumbuhi lumut."Karena itu, sesuai arahan Bapak Gubernur tahun ini kita perbaiki pedestalnya," jelas Miftah dilansir dari Antara pada Sabtu, 16 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut Miftah, konservasi ini merupakan tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta dalam merawat warisan salah satu cagar budaya dari para pendahulu. Dilansir dari Antara, proses konservasi Tugu Pancoran dimulai sejak 11 Agustus 2025 dan ditargetkan selesai dalam waktu 60 hari kalender. Pekerjaan melibatkan delapan hingga sepuluh tenaga khusus yang terdiri dari pelaksana teknis perawatan, pengawas, hingga petugas pengamanan lapangan.
Miftah menjelaskan, tahap pertama konservasi adalah pengerokan cat lama. Setelah itu, dilakukan proses coating dan pengecatan khusus yang sesuai dengan standar bangunan cagar budaya. Sedangkan untuk anggaran konservasi, bersumber dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. "Anggarannya berasal dari Dinas Kebudayaan," kata Miftah seperti dikutip dari Antara.
Sejarah Tugu Pancoran
Menurut Ensiklopedia Sejarah Indonesia (ESI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Tugu Pancoran dibangun atas prakarsa Presiden Sukarno pada 1965. Monumen ini dipersembahkan sebagai penghormatan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Garuda Indonesia, para penerbang, serta tokoh-tokoh kedirgantaraan yang berjasa bagi kemerdekaan.
Patung ini berbentuk figur manusia angkasa yang berdiri di atas beton melengkung setinggi 27 meter, dengan tinggi patung mencapai 11 meter dan bobot 11 ton. Karya pematung maestro Edhi Sunarso ini diproduksi dari perunggu dan dibangun dengan dukungan PT Hutama Karya (Persero) di bawah pimpinan Ir Sutami.
Lokasi patung dipilih secara strategis, yakni di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, dekat dengan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bandara utama pada masa itu. Seperti dikutip dari laman kc.umn.ac.id, biaya pembangunan patung ini sebagian besar ditanggung langsung oleh Soekarno. Bahkan ia rela menjual mobil pribadinya. Biaya pembuatannya ketika itu mencapai Rp12 juta.
Rencananya, pendirian Monumen Patung Dirgantara hanya membutuhkan waktu setahun. Namun, meletusnya Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) sempat menghambat proses pembangunannya. Bahkan, muncul spekulasi bahwa patung tersebut dimaksudkan sebagai alat pencukil mata bagi para anggota PKI. Bung Karno menepis kabar tersebut dan menegaskan bahwa monumen ini adalah peringatan tonggak sejarah penerbangan Indonesia, yang telah dimulai sejak masa kolonial Belanda.
Melynda Dwi Puspita berkontribusi dalama artikel ini.
Pilihan Editor: Tak Goyah Meski Banjir Cibiran