
Penasihat hukum eks Ketua DPR RI, Setya Novanto, Maqdir Ismail, mengungkapkan bahwa salah satu novum atau bukti baru yang diajukan di permohonan Peninjauan Kembali (PK) kliennya di kasus korupsi e-KTP adalah keterangan agen FBI, Jonathan E. Holden.
Keterangan agen FBI tersebut terkait pemeriksaan terhadap Johannes Marliem, yang tak menyebutkan ada pengiriman uang terkait e-KTP.
"Adanya keterangan agen FBI di pengadilan di Amerika terhadap perkara yang melibatkan istri dari Johannes Marliem dengan beberapa krediturnya," kata Maqdir saat ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/7).
"Yang menerangkan bahwa tidak ada uang yang dikirim oleh Marliem dari Amerika kepada Pak Setya Novanto. Itu salah satu di antaranya yang kami pakai sebagai novum," ungkapnya.
Selain itu, Maqdir mengungkapkan bahwa novum lainnya yang juga diajukan yakni transaksi keuangan yang diterima Multicom Investment Pte Ltd, perusahaan milik Anang Sugiana Sudihardjo di Singapura, dengan Made Oka Masagung.
"Jadi transaksi yang mereka lakukan ini ada proses jual beli, yang jadi sehingga kalau lihat dari transaksi enggak ada kaitannya dengan Pak Novanto, tetapi ini dianggap terbukti," ucap dia.
MA mengabulkan PK Setnov. Hukumannya dikurangi dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara.
Kendati demikian, Maqdir menilai, bahwa kliennya mestinya dibebaskan dari kasus tersebut alih-alih hanya dipotong hukumannya menjadi 12,5 tahun penjara.
Ia juga menekankan bahwa dakwaan yang dituduhkan kepada kliennya justru salah pasal. Maqdir menegaskan bahwa saat kasus ini menjerat Setnov, kliennya itu tidak memiliki kaitan dengan Kemendagri lantaran tidak berada di kursi Komisi II DPR RI.

"Pak Novanto itu anggota Komisi 3, bukan Komisi 2, jadi enggak ada urusannya dengan Kemendagri. Sehingga, seharusnya ini adalah dakwaan yang salah pasal," kata dia.
"Karena pasalnya salah yang didakwakan, Pak Novanto itu dibebaskan, bukan dihukum, bukan dikurangi hukumannya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Maqdir juga mempermasalahkan lamanya permohonan PK tersebut diputus oleh MA. Padahal, permohonan PK itu telah diajukan sejak 2019 silam.
"PK itu kami ajukan 2019. Baru diputus sekarang, ini ada apa? Mengapa begitu lama? Gitu, loh, saya terus terang saya enggak tahu apa yang terjadi, apakah karena mereka memang menunggu kasus-kasus yang lain atau apa saya enggak tahu. Tetapi, ya ini cukup lama," ujarnya.
Putusan PK itu diketok pada 4 Juni 2025 lalu oleh Hakim Agung Surya Jaya sebagai Ketua Majelis PK, serta Hakim Agung Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono selaku anggota majelis.
"Kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan," demikian petikan putusan perkara nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, dilihat di situs resmi MA.

Dalam putusan itu, Novanto juga dihukum pidana denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti (UP) sebesar USD 7,3 juta. Uang pengganti itu dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkannya ke penyidik KPK.
"Sisa UP Rp 49.052.289.803 subsider 2 tahun penjara," bunyi putusan itu.
Tak hanya itu, Novanto juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun setelah masa pidana selesai.
Belum diketahui apa pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan ini.
Dalam kasus itu, Novanto sebelumnya divonis 15 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Ia juga dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ia dinilai menerima keuntungan sebesar USD 7,3 juta serta jam tangan Richard Mille RM011 seharga USD 135 ribu dari proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Setnov juga dihukum harus membayar uang pengganti sebesar yang diterimanya yakni USD 7,3 juta. Apabila uang pengganti itu tak dibayar, maka harta benda Setnov akan disita dan dilelang. Namun bila tidak mencukupi, maka akan diganti pidana penjara selama 2 tahun.
Pihaknya tak mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketok pada Selasa (24/4/2018) silam.
Akan tetapi, setelah menjalani setahun hukuman, Novanto mengajukan PK. Kini, MA mengabulkan PK itu dan hukumannya pun 'disunat' menjadi 12,5 tahun penjara.