REPUBLIKA.CO.ID, CIMAHI -- Sejarah kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati hari ini, Ahad (17/8/2025) tak bisa dilepaskan dari keberadaan Kota Cimahi, Jawa Barat. Kota mungil dengan tiga kecamatan ini cukup banyak terlibat dalam kejadian masa lalu, terutama saat masa penjajahan hingga mempertahankan kemerdekaan.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa informasi proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, pada Jumat, 17 Agustus 1945 tak langsung terdengar oleh rakyat di Cimahi. Kabar itu baru diterima sehari kemudian.
Sehingga warga di Cimahi baru melakukan euforia kemerdekaan pada 18 Agustus 1945. Erom dan Raden Embang Kartawidjaja yang sama-sama berprofesi sebagai guru seketika menggerakan warga untuk berkumpul merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajah di satu tempat yang saat ini bertransformasi menjadi Alun-alun Cimahi.
"Informasi (kemerdekaannya) memang tidak langsung cepat diterima warga Cimahi, jadi sehari setelahnya baru warga ini berkumpul di tempat yang sekarang jadi Alun-alun Cimahi," ujar Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Cimahi, Machmud Mubarok saat dihubungi, Ahad (17/8/2025).
Komunikasi dan informasi menjadi penyebab terlambatnya warga Cimahi kala itu untuk merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya. Sebab menurut Machmud, kala itu belum banyak warga yang memiliki radio.
"Karena komunikasi dan informasi tidak secepat, sekarang walaupun dekat dengan Bandung tapi saat itu belum banyak memiliki radio. Jadi respon (proklamasi kemerdekaan) enggak langsung hari itu," kata Machmud.
Namun sayang perayaan merdekanya Indonesia 80 tahun lalu tak bisa dilakukan secara meriah. Karena, Jepang kala itu masih menjajah Indonesia sehingga terlalu riskan kalau mengumpulkan terlalu banyak massa.
Namun sejak saat itulah perjuangan tokoh di Cimahi dimulai untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Alun-alun Cimahi menjadi salah satu aksi bisu. Di lokasi itulah pejuang bersama rakyat secara heroik menyerang konvoi tentara Belanda tahun 1946 atau tepatnya setahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Saat itu, pasukan regu Kompi Daeng bersama Laskar Banteng Cimahi, BARA serta Detasemen Abdul Hamid melakukan penyergapan dan penembakan ke arah truk konvoi yang ditumpangi tentara Belanda yang mengarah ke Padalarang. Pasukan pribumi saat itu awalnya menerima informasi bahwa akan ada konvoi pasukan Belanda.
Machmud mengatakan, pertempuran itu tidak bisa dihindarkan. Dimana bunyi tembakan terdengar dari kawasan Alun-alun Cimahi yang dulunya dibangun warga pribumi, bukan oleh Belanda. "Jadi ada Sekutu dan Belanda yang konvoi kemudian dilakukan pencegatan. Sampai ada beberapa orang yang jadi korban, termasuk pihak kita juga ada yang ketemebak," katanya.
Untuk menghadapi pasukan penjajah saat itu, para pasukan pejuang Cimahi menggunakan teknik hit and run. Mereka sembunyi-sembunyi dalam melakukan penyerangan dengan berbagai senjata apa adanya. Teknik tersebut sukses dan membuahkan hasil. Pasukan Belanda yang hendak konvoi ke Padalarang, Bandung Barat akhirnya dipukul mundur.
Dari pertempuran di Alun-alun Cimahi itu, para pejuang berhasil menyita sekitar tiga kendaraan dan berbagai senjata milik penjajah. Hingga salah satunya dijadikan kendaraan operasional Laskar Banteng Cimahi.
Pasukan Belanda tak tinggal diam setelah diserang pejuang pribumid di Cimahi. Mereka kemudian melakukan penyisiran hingga masuk ke kawasan perkampungan. Mereka tak segan-segan menganiaya warga sipil.
"Kadang menelan korban rakyat yang tak bersenjata. Jadi Belanda dan Sekutu masuk ke kampung-kampung, rakyat biasa juga dikorbankan," kata Machmud.
Kini, wajah Alun-alun Cimahi sudah berubah 100 persen dari zaman pertempuran dulu. Saat ini, alun-alun sudah disulap dengan berbagai hiasan seperti penamaan, tugu di tengah alun-alun, lampu hias dan berbagai ornamen lainnya.