
RUU KUHAP masih terus digodok. Tapi, semua Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sudah dibahas dan disepakati di tingkat panja antara Komisi III dan pemerintah.
Salah satu pasal baru yang ada dalam RUU KUHAP, yakni soal penyelesaian perkara tanpa harus berakhir di penjara. "Jalur damai" ini mulai dari tingkat penyidikan di Polri hingga tahap penuntutan di persidangan.
Ketiga jalur itu, yakni restorative justice, plea bargain, dan Deferred Prosecution Agreement. Ketiganya punya syarat dan ketentuan berbeda.
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif
Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, terdakwa, keluarga terdakwa, dan/atau pihak lain yang terkait, yang bertujuan mengupayakan pemulihan keadaan semula.
Ketentuan Keadilan Restoratif yang sudah disetujui panja tertuang dalam sejumlah pasal di RUU KUHAP diatur bahwa:
Pasal 74
Ayat 1
Keadilan Restoratif dilakukan untuk memulihkan keadaan semula yang berupa:
a. permaafan dari Korban dan/atau Keluarganya;
b. pengembalian barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
c. mengganti kerugian Korban;
d. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana
e. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
f. memberikan Restitusi dan/atau Kompensasi.
Ayat 2
Pemulihan keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diikuti dengan pencabutan Laporan atau Pengaduan.
Ayat 3
Mekanisme Keadilan Restoratif dilaksanakan pada tahap: penyelidikan, penuntutan, penyidikan, bahkan di pemeriksaan sidang pengadilan.
Pasal 74A
Ayat 1
Mekanisme Keadilan Restoratif dapat dikenakan terhadap tindak pidana yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. tindak pidana diancam hanya dengan pidana denda paling banyak kategori III atau diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
b. tindak pidana yang pertama kali dilakukan;
c. tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan;
d. bukan merupakan pengulangan tindak pidana, dengan syarat:
1) merupakan tindak pidana yang dikenakan Putusan Hakim hanya berupa pidana denda.
Pasal 76
(1) Mekanisme Keadilan Restoratif dilakukan melalui:
a. permohonan yang diajukan oleh pelaku tindak pidana, Tersangka, Terdakwa, atau keluarganya, dan/atau Korban tindak pidana atau keluarganya; atau
b. penawaran dari Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, atau kepada Korban dan Tersangka.
(2) Mekanisme keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan, dan tindakan yang merendahkan kemanusiaan terhadap Tersangka.
Pasal 77
Mekanisme Keadilan Restoratif dikecualikan untuk:
a. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
b. tindak pidana terorisme;
c. tindak pidana korupsi;
d. tindak pidana kekerasan seksual
e. tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali karena kealpaannya;
f. tindak pidana terhadap nyawa orang;
g. tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
h. tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat;
i. tindak pidana narkoba kecuali yang berstatus sebagai pengguna; dan/atau
j. tindak pidana kekerasan yang memuat relasi kuasa antara pelaku dan korban

Plea Bargain atau Pengakuan Salah
Pengakuan Bersalah (Plea Bargain) adalah mekanisme hukum bagi Terdakwa untuk mengakui kesalahannya dalam suatu tindak pidana dan kooperatif dalam pemeriksaan dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya dengan imbalan keringanan hukuman.
Pengakuan Bersalah
Pasal 73A
(1) Pengakuan Bersalah hanya dapat diterapkan dengan persyaratan:
a. baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda kategori V;
c. bersedia membayar Ganti Kerugian atau Restitusi. (2) Penuntut Umum menanyakan kepada Terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya apakah Terdakwa bersalah atau tidak.
(3) Dalam hal Terdakwa mengaku bersalah, Terdakwa wajib didampingi oleh Advokat dan pengakuan tersebut dinyatakan dalam berita acara.
(4) Pengakuan Bersalah diajukan dalam sidang tertentu sebelum persidangan pokok perkara dimulai.
(5) Dalam hal Pengakuan Bersalah disepakati, perjanjian tertulis dibuat antara Penuntut Umum dan Terdakwa dengan persetujuan Hakim.
(6) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat sebagai berikut:
a. Terdakwa mengetahui konsekuensi dari Pengakuan Bersalahnya, termasuk pengabaian hak diam dan hak untuk diadili dengan acara pemeriksaan biasa;
b. pengakuan dilakukan secara sukarela;
c. pasal yang didakwa dan ancaman hukuman yang akan dituntut kepada Terdakwa sebelum Pengakuan Bersalah dilakukan;
d. hasil negosiasi Penuntut umum, Terdakwa dan Advokat, termasuk alasan pengurangan masa hukuman Terdakwa;
e. pernyataan bahwa perjanjian Pengakuan Bersalah mengikat bagi para pihak yang menyetujui dan berlaku seperti Undang-Undang;
f. bukti dilakukannya tindak pidana oleh Terdakwa untuk memastikan terdakwa melakukan tindak pidana.
(7) Hakim wajib menilai Pengakuan Bersalah dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, dan dengan pemahaman penuh dari Terdakwa.
(8) Dalam hal Hakim menerima Pengakuan Bersalah, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan acara singkat.
(9) Dalam hal Hakim menolak Pengakuan Bersalah, perkara dilanjutkan sesuai dengan prosedur pemeriksaan dengan acara biasa.
(10) Setiap pelaksanaan Pengakuan Bersalah harus dicatat dalam berita acara dan menjadi bagian dari berkas perkara.
(11) Dalam hal Hakim memperoleh keyakinan bahwa Pengakuan Bersalah dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) dan didukung dengan 2 (dua) alat bukti yang sah, Hakim memberikan putusan sesuai dengan kesepakatan dalam berita acara.
(12) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disahkan pengadilan pada saat proses Pengakuan Bersalah.

Deferred Prosecution Agreement atau Perjanjian Penundaan Penuntutan
Perjanjian Penundaan Penuntutan (Deferred Prosecution Agreement) adalah mekanisme hukum bagi penuntut umum untuk menunda penuntutan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana oleh korporasi.
Perjanjian Penundaan Penuntutan
Pasal 309C
(1) Perjanjian penundaan Penuntutan bertujuan untuk kepatuhan hukum, pemulihan kerugian akibat tindak pidana, serta efisiensi dalam peradilan pidana.
(2) Perjanjian penundaan Penuntutan hanya dapat diterapkan pada tindak pidana oleh korporasi.
(3) Permohonan perjanjian penundaan Penuntutan dapat diajukan oleh Tersangka, Terdakwa, atau Advokat kepada Penuntut Umum sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
(4) Penuntut Umum dapat menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan pertimbangan keadilan, korban, dan kepatuhan Tersangk terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal Penuntut Umum menerima permohonan, Penuntut Umum wajib memberitahukan kepada pengadilan terkait akan dilaksanakan proses perjanjian penundaan Penuntutan dan dicatat dalam berita acara.
(6) Hasil kesepakatan perjanjian penundaan penuntutan wajib disampaikan oleh Penuntut Umum kepada pengadilan paling lama 7 (tujuh) Hari setelah kesepakatan ditandatangani oleh para pihak.
(7) Pengadilan wajib mengadakan sidang pemeriksaan untuk menilai kelayakan dan keabsahan perjanjian penundaan Penuntutan sebelum disahkan.
(8) Dalam sidang pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) Hakim wajib mempertimbangkan:
a. kesesuaian syarat dalam perjanjian penundaan Penuntutan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. proporsionalitas sanksi administrasi atau kewajiban lain yang diberikan kepada Tersangka atau Terdakwa;
c. dampak terhadap korban, masyarakat, lingkungan hidup, perekonomian negara, dan sistem peradilan pidana; dan
d. kemampuan Tersangka atau Terdakwa dalam memenuhi syarat yang ditetapkan.
(9) Dalam memeriksa perjanjian penundaan Penuntutan Hakim dapat meminta tambahan informasi atau klarifikasi dari Penuntut Umum, Tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang berkepentingan.
(10) Dalam hal Hakim menyetujui perjanjian penundaan Penuntutan maka pengesahan dituangkan dalam penetapan pengadilan dan perkara ditangguhkan sesuai dengan kesepakatan.
(11) Dalam hal Hakim menolak perjanjian pen...