
Panja RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Komisi III DPR RI sepakat mengatur tentang pengakuan bersalah. Dalam aturan ini, nantinya hukuman terdakwa akan lebih ringan dan sidang menjadi lebih singkat.
Keputusan ini diambil saat Rapat Panja RUU KUHAP bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (10/7). Aturan ini akan diatur dalam Pasal 73A. Di dalamnya ada 12 ayat, yakni sebagai berikut:
Ayat 1: pengakuan bersalah hanya dapat diterapkan dengan persyaratan:
A. baru pertama kali melakukan tindak pidana.
B. terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimum 7 tahun atau pidana denda kategori kelima.
C. bersedia membayar ganti kerugian atau restitusi.
Ayat 2: penuntut umum menanyakan kepada terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya apakah terdakwa bersalah atau tidak.
Ayat 3: dalam hal terdakwa mengaku bersalah, terdakwa wajib didampingi oleh advokat dan pengakuan tersebut dinyatakan dalam berita acara.
Ayat 4: pengakuan bersalah diajukan dalam sidang tertentu sebelum persidangan pokok perkara dimulai.
Ayat 5: dalam hal pengakuan bersalah disepakati, perjanjian tertulis dibuat antara penuntut umum dan terdakwa dengan persetujuan hakim.
Ayat 6: kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat 5 memuat sebagai berikut:
A. terdakwa mengetahui konsekuensi dari pengakuan bersalahnya, termasuk pengabaian hak diam dan hak untuk diadili dengan acara pemeriksaan biasa.
B. pengakuan dilakukan secara sukarela.
C. pasal yang didakwakan dan ancaman hukuman yang akan dituntut kepada terdakwa sebelum pengakuan bersalah dilakukan.
D. hasil negosiasi penuntut umum, terdakwa dan advokat termasuk alasan pengurangan masa hukuman terdakwa.
E. pernyataan bahwa perjanjian pengakuan bersalah mengikat bagi para pihak yang menyetujui dan berlaku seperti undang-undang.
F. bukti dilakukannya tindak pidana oleh terdakwa untuk memastikan terdakwa melakukan tindak pidana.
Ayat 7: hakim wajib menilai pengakuan bersalah dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan dengan pemahaman penuh dari terdakwa.
Ayat 8: dalam hal hakim menerima pengakuan bersalah, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan acara singkat.
Ayat 9: dalam hal hakim menolak pengakuan bersalah, perkara dilanjutkan sesuai dengan prosedur pemeriksaan dengan acara biasa.
Ayat 10: setiap pelaksanaan pengakuan bersalah harus dicatat dalam berita acara dan menjadi bagian dari berkas perkara.
Ayat 11: dalam hal hakim memperoleh keyakinan bahwa pengakuan bersalah dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan ayat 10 dan didukung dengan dua alat bukti yang sah, hakim memberikan putusan sesuai dengan kesepakatan dalam berita acara.
Ayat 12: putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 11 disahkan pengadilan pada saat proses pengakuan bersalah.

“Jadi tetap pengakuan bersalah ini ada pada hakim, bukan pada, persetujuannya pada hakim. Jadi kalau meskipun ada kesepakatan antara penuntut umum dan terdakwa, tapi kalau hakim tidak setuju ya pemeriksaan biasa. Tapi kalau hakim setuju langsung pemeriksaan singkat, kemudian apa yang telah diperjanjikan itu disahkan oleh hakim,” Wamen Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam rapat itu.
“Termasuk mengenai tuntutan dan ringannya hukuman,” tambahnya.
Seiring berjalannya perdebatan, ada beberapa hal yang diubah dalam Pasal tersebut. Salah satunya adalah kata “negosiasi”.
“Ayat 6 poin D. Ini hasil negosiasi penuntut umum. Kata negosiasi ini konotasinya… mungkin diganti dengan komunikasi atau apa. Yang penting jangan nego Pak,” ujar Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo.
“Kalau di pengadilan nego pikiran publik nanti apa? Itu aja,” tambahnya.
Atas usulan itu, Eddy pun sepakat.

Lalu, Eddy juga sepakat untuk menganulir Ayat 12. Menurut para Anggota Komisi III, putusan hakim tak semestinya disahkan lagi.
“Yang pertama tadi saya kira kami dari pemerintah untuk yang ayat 12 itu kami sepakat ya, memang sebetulnya tidak usah lagi putusan kok disahkan,” ujar Eddy.
“Putusan itu pasti sudah sah, jadi memang untuk ayat 12 itu kita, dihapus, didrop saja,” tambahnya.
Yang terakhir, aturan minimal 7 tahun penjara pun diturunkan menjadi 5 tahun penjara.
“Mengapa kita mengambil 5 tahun karena 5 tahun ini adalah batas antara tindak pidana yang ringan dan tindak pidana yang berat,” ujar Eddy.
Ia pun menjelaskan bagaimana proses pengajuan pengakuan bersalah ini ketika RUU KUHAP sudah disahkan.
“Jadi (pengakuan bersalah ditanyakan) begitu dalam penuntutan ini perkara mau disampaikan ke pengadilan. Jadi sudah ada penyerahan berkas perkara. Sudah P21 dari penyidik sampai ke penuntut umum. Kemudian itu ditawarkan kamu mau mengaku bersalah atau tidak? Kalau dia mau mengaku bersalah tentu saja dengan ada konsekuensi-konsekuensi maka jaksa menuangkan itu dalam berita acara kemudian meminta persetujuan kepada pengadilan,” jelasnya.
“Setuju tidak dengan plea bargaining yang diajukan oleh jaksa dan terdakwa? Kalau setuju, maka kemudian memberikan pertimbangan untuk persoalan hukuman dan lain sebagainya. Jadi acara pemeriksaan biasa itu diubah menjadi acara pemeriksaan singkat. Jadi kalau kita baca dengan teliti dari ayat-ayat di dalam pasal 73A ini. Tapi kalau tidak setuju maka dia akan ke acara biasa,” tambahnya.
Panja RUU KUHAP pun akhirnya sepakat dengan aturan tersebut.