RUMAH doa umat Kristen di kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat, ditutup paksa. Penyegelan tempat ibadah ini telah berlangsung lebih dari satu pekan yang dilakukan oleh pemerintah setempat sejak 2 Agustus 2025. "Pelarangan ibadah ini sebagai bentuk pelanggaran HAM (hak asasi manusia)," ujar Pendeta Gereja Beth-El Tabernakel, Yahya Sukma, kepada Tempo pada Senin, 11 Agustus 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yahya, selain melakukan penyegelan, pemerintah daerah pun mengusir rohaniawan rumah doa, Dani Natanael, beserta anaknya yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Mereka dilarang berada di wilayah Kecamatan Caringin. Saat ini Dani beserta anaknya mengungsi ke wilayah Kabupaten Bandung.
Kegaduhan itu berawal, saat petugas Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat, hendak melakukan pendataan dengan didampingi petugas kantor urusan agama (KUA) setempat. Pendataan ini merupakan bentuk pembinaan karena Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) rumah doa akan berakhir pada Februari 2026.
Namun, sebelum petugas Kemenag Provinsi mendatangi lokasi, KUA bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan Caringin terlebih dahulu mendatangi Rumah doa. Mereka membawa Dani dan Anaknya ke salah satu hotel di Pantai Rancabuaya. "Pada Jumat, jam sebelas malam Dani dibawa ke hotel katanya untuk menghindari adanya penyerangan," ujar Yahya.
Esok harinya, lanjut Yahya, Dani beserta anaknya dibawa ke kantor Desa Purbayani. Mereka diintrogasi dan dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka secara sukarela meninggalkan rumah doa. Dalam pernyataan itu juga Dani tidak akan mengikuti kegiatan rumah doa dan tidak melakukan kegiatan keagamaan di wilayah Kecamatan Caringin.
Dalam pertemuan itu juga dibuatkan berita acara kesepakatan di antaranya bahwa rumah doa Imanuel ditutup secara permanen. Poin lainnya yakni dilarang adanya peribadatan atau pembinaan iman umat Kristen dan kegiatan peribadatan lainnya seperti pembagian bantuan sosial sembako. "Kita ini kaum minoritas, apa yang kita lakukan selalu dianggap salah," ujar Yahya.
Ia mengaku bahwa rumah doa itu telah berdiri sejak 2010 lalu. Tujuannya untuk memfasilitasi umat Kristen yang berada di wilayah Garut Selatan dan Cianjur. Alasannya karena jarak untuk beribadah ke gereja mencapai lebih dari 100 kilometer. Jumlah umat Kristiani mencapai 100 orang yang tersebar di lima kecamatan di antaranya Cibalong, Pameungpeuk, Cikelet, Caringin dan Bungbulang. "Kegiatan di rumah doa dilakukan satu bulan sekali kalau sebelum covid satu Minggu sekali," ujarnya.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut Nurrodhin mengaku bahwa penutupan rumah doa itu dilakukan karena tidak memiliki izin. Penghentian aktivitas kegiatan pun dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan. "Penutupan itu hasil kesepakatan. Kalau mengikuti aturan tidak akan ada persoalan. Inshaallah kita fasilitasi," ujarnya.
Selain melakukan penutupan, pemerintah daerah juga mendata warga di sekitar rumah doa. Mereka diduga telah berpindah agama dari Islam ke kristen. Alasannya karena warga pernah mendapatkan bantuan berupa sembako. Warga itu pun kini mendapatkan pembinaan dan pemantauan dari kantor urusan agama setempat. "Setelah kami cek tidak ada warga yang pindah agama," ujar Nurrodhin.
Humas Kementerian Agama, Kabupaten Garut, Soni, menyatakan akan mendorong mediasi sebagai langkah penyelesaian. Ia berharap semua pihak agar menahan diri dan tidak memberikan narasi-narasi yang dapat memicu kegaduhan.
"Sesuai dengan fungsi dan perannya, Kemenag pun melalui penyuluh agama dan ASN lainnya menghimbau agar berperan aktif memberikan edukasi dan pembinaan terhadap masyarakat terkait moderasi dan kerukunan umat beragama," ujar Soni melalui keterangan resminya.