SUCIWATI masih mengingat tema tesis yang ingin ditulis suaminya, Munir Said Thalib, di program studi Internasional Protection of Human Rights, Universitas Utrecht, Belanda pada 2004. Munir ingin menuliskan tesis mengenai masalah hak asasi manusia di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Suciwati membantah kabar yang beredar bahwa Munir ingin menulis tesis mengenai penghilangan paksa. “Bukan penghilangan paksa. Munir ingin menulis tesis soal Aceh untuk mendorong perdamaian antara pemerintah Indonesia dan NAD,” kata Suciwati kepada Tempo pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Pemerintah kala itu sedang berkonflik dengan kelompok pro-kemerdekaan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik Indonesia-GAM sudah berlangsung sejak Desember 1976 ketika Tengku Hasan Muhammad di Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh di Pidie.
Kepada Suci, Munir mengaku pernah bertemu dengan panglima Perang GAM Jenderal Abdullah Syafii. Informasi dari pertemuan itu yang juga akan dituliskan Munir dalam tesisnya nanti.
Suci berkata Munir ingin mendorong perdamaian di Aceh. Munir mendorong pemerintah tidak menggunakan pendekatan militer menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh. “Dia menolak pemerintah Indonesia yang terus menerus mengirimkan pasukan ke Aceh,” kata dia.
Munir pun mengajukan proporal beasiswa soal Aceh itu kepada Interchurch Organisation for Development Cooperation (ICCO). ICCO pun bersedia memberikan Munir beasiswa masternya selama 12 bulan di Utrecht.
Dalam buku Tembok Tebal Pengusutusan Pembunuhan Munir yang ditulis Imparsial pada 2006, Munir mengkritik Presiden ke-4 Megawati Soekarnoputri yang menetapkan darurat militer di Aceh melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 pada 19 Mei 2003. Munir memandang penetapan status dibarengi operasi militer itu menjadi bukti pemerintah selama ini tidak serius menyelesaikan konflik di NAD.
Munir melihat pemerintah sipil tidak memiliki taji dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Buktinya, jauh sebelum darurat sipil ditetapkan, pemerintah sudah sering mengerahkan pasukan untuk menyelesaikan konflik bersenjata di NAD.
Munir juga menyoroti pelanggaran yang dilakukan DPR. Penetapan darurat militer harus mendapatkan persetujuan DPR. Penetapan itu diatur dalam pasal 12 UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
DPR kala itu belum menyetujui penetapan status darurat militer yang diumumkan oleh Megawati. Namun, DPR membiarkan begitu saja pengerahan militer ke NAD.
Bagi Munir, pengiriman militer hanya merusak rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Pemerintah sipil tidak bisa menjamin tidak adanya korban sipil akibat pengerahan militer itu. Keputusan politik pemerintah itu juga bisa menjadi pembenaran militer melakukan kekerasan tanda ada penegakan hukum.
Munir mengatakan pendekatan militer juga bisa melumpuhkan kemampuan nasional dalam menyelesaikan konflik di NAD. Dia khawatir rakyat NAD marah karena masalahnya diselesaikan dengan pendekatan militer. Sebab, keberlanjutan kekerasan di NAD selama ini terjadi karena masalah diselesaikan dengan penggunaan senjata.
Munir juga menyoroti digelarnya persidangan militer terhadap prajurit TNI karena melakukan tindakan penganiayaan ketika operasi militer berjalan. Bagi Munir, setiap pelanggaran harus ada penindakan secara hukum.
Meski begitu, Munir mengatakan peradilan itu juga harus dikoreksi masyarakat. Percuma melakukan peradilan bila masyarakat tidak bisa memonitor jalanya peradilan itu.
Munir juga mengkritik sistem peradilan terhadap anggota militer di Indonesia. Mestinya, militer yang melakukan kejahatan pidana umum diadili peradilan umum. Namun anggota yang melakukan kejahatan pidana umum diadili di peradilan militer. Bagi Munir, keadaan itu merupakan bentuk impunitas.
Setelah satu tahun Munir meninggal pada 7 September 2004, konflik bersenjata di Aceh antara GAM dan pemerintah Indonesia selesai setelah penandatanganan Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan damai ini mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun dan memberikan otonomi khusus bagi Aceh di bawah Republik Indonesia.