REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Fenomena Rojali alias 'rombongan jarang beli' dan Rohana atau 'rombongan hanya nanya' kembali menjadi sorotan publik, terutama terkait perilaku pengunjung pusat perbelanjaan yang hanya datang untuk jalan-jalan tanpa berbelanja. Namun, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menilai fenomena tersebut justru membawa dampak positif bagi mal.
Saat dijumpai, Ketua APPBI DPD DIY, Surya Ananta, menyebut Rojali dan Rohana bukanlah fenomena yang baru. Menurutnya, kedua istilah itu sudah lama terjadi sejak mal pertama kali hadir. Ia mengatakan perilaku konsumen memang cenderung bergeser dari aktivitas belanja (shopping) ke hiburan (entertainment). Tetapi kedua segmen ini tetap mengandung unsur transaksi meskipun tidak selalu terlihat secara kasat mata.
"Mal itu arah atau konversinya sekarang berbeda. Dari yang sebelumnya shopping menjadi entertain, sehingga persentasenya bergeser, shopping-nya yang dulu dominan, sekarang entertain-nya yang dominan. Kalau kita lihat, entertain-nya dominan, tetapi orang tetap spend money, meskipun belum tentu dia bawa tentengan," katanya, Sabtu (9/8/2025).
Ia menyebut banyak pengunjung yang tetap mengeluarkan uang saat ke mal, meskipun hanya untuk makan, nonton film, atau menemani anak bermain. Aktivitas mereka ini tetap berkontribusi pada transaksi mal, meski tidak membawa barang belanjaan.
"Itu memang tidak terlihat belanjanya kalau kita melihat orang hanya jalan-jalan. Tetapi kita tidak tau pasti sebelumnya dia mengeluarkan uang di mal untuk apa," ucapnya.
Bagi APPBI DIY, kunjungan ke mal merupakan hal yang sangat dihargai. Surya menyebut traffic atau arus pengunjung adalah fondasi penting dalam aktivitas mal. Tinggal bagaimana tugas pengelola bersama tenant untuk mengonversi kunjungan itu menjadi transaksi, lewat berbagai program menarik.
APPBI DIY pun optimistis, meski perilaku belanja berubah, peluang untuk menjaga perputaran ekonomi di mal tetap besar. Selama traffic tinggi, pengelola akan terus mengupayakan strategi agar kunjungan bisa dikonversi menjadi transaksi yang menguntungkan bagi semua pihak.
"Fenomena Rohana dan Rojali itu kalau kami ditanya tanggapannya, sangat sangat positif. Orang mau masuk ke mall saja kita sudah sangat-sangat bersyukur dan berterima kasih karena tujuan mal itu menarik traffic. Ini sudah ada traffic-nya, tinggal nanti bersama-sama tenant untuk mengkonversi orang yang sudah jalan-jalan di mal itu yuk mampir yuk spending dan seterusnya," ungkapnya.
"Kembali lagi bagaimana kita melakukan itu? Ya melalui program ini sampai kita bikin undian, sampai bikin koin, itulah supaya traffic yang sudah masuk bisa belanja." kata dia.
Lebih lanjut, Surya juga menyampaikan karakteristik mal di setiap daerah berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamaratakan dalam menilai perilaku pengunjungnya. Sebagai kota wisata kedua setelah Bali, mal di Yogyakarta tak hanya mengandalkan warga lokal, tapi juga wisatawan domestik maupun internasional. Karena itu, potensi transaksi tetap tinggi.
"Sehingga potensi belanja gak hanya masyarakat DIY, ini kan juga bisa dilakukan saat libur sekolah. DIY punya karakteristik yang agak beda dengan kota-kota lain yang bukan tujuan pariwisata," kata dia.