
Di dunia yang penuh suara notifikasi, turbulensi pesawat, dan kalender digital yang tak henti berdetak, satu hal kini justru dicari: kesunyian.
Tak lagi mengejar pemandangan ikonik atau daftar tempat viral di TikTok, wisatawan generasi pascapandemi mencari sesuatu yang lebih esensial. Sebuah jeda. Sebuah ruang hening. Dari Swiss hingga Selandia Baru, dari Finlandia hingga lembah sungai kecil di Sleman, tren ini kini dikenal sebagai quietcation: liburan diam, tanpa keharusan untuk produktif, tanpa tekanan untuk tampil.
Dari London ke Sleman: Ketika Dunia Butuh Sunyi
Dalam laporan Travel Trends Report 2025 oleh Forbes, agensi perjalanan tanpa penerbangan, Byway Travel, menyebut quietcation sebagai tren perjalanan paling menonjol tahun ini. CEO-nya, Cat Jones, menyebut tahun 2025 sebagai tahun untuk benar-benar melambat, menyetel ulang, dan mengisi ulang diri dari kebisingan hidup.
Data yang dikumpulkan dari berbagai platform perjalanan menunjukkan peningkatan permintaan akan destinasi yang jauh dari pusat kota, minim sinyal, dan memiliki koneksi alami yang kuat. 68% yang dipesan oleh pengguna Byway Travel pada 2024 berada di luar kawasan populer.
Hotel-hotel mewah dunia merespons tren ini dengan menyediakan “silent immersion”, “forest bathing”, atau bahkan “ritual membosankan” yang disengaja semua demi satu tujuan: menenangkan tubuh dan pikiran yang lelah.
Dan di Indonesia, sebuah tempat menawarkan semua itu, tanpa perlu pergi jauh: Garrya Bianti Yogyakarta.

Garrya Bianti: Sunyi yang Didesain dengan Lembut
Terletak di Desa Gabugan, Sleman, di pinggir kota Jogja yang kini semakin padat, Garrya Bianti Yogyakarta menawarkan oasis keheningan yang tidak dibuat-buat. Bukan hanya karena letaknya tersembunyi, tapi karena keseluruhan desain dan filosofi hotel ini lahir dari pemahaman akan pentingnya pelambatan hidup.
Arsitekturnya memadukan keheningan spiritual Candi Sukuh dengan napas material Kotagede yang 90% material bangunan adalah terakota lokal. Sentuhan ini membuat Garrya Bianti Yogyakarta terasa bukan seperti hotel yang dibangun, tetapi seperti tempat yang ditemukan kembali.
Setiap kamar membuka diri pada kebun tropis dan suara sungai. Tidak ada agenda padat. Tidak ada keramaian lobi atau keributan sound system. Yang ada hanyalah waktu dan ruang untuk kembali menjadi manusia biasa.

Pengalaman Quietcation: Lebih dari Sekadar Diam
Garrya Bianti Yogyakarta tidak menjual diam sebagai produk. Ia menciptakan kondisi di mana diam bisa terjadi dengan alami.
Melalui program wellness retreat-nya, tamu bisa menjalani sound healing di Riverside Deck, perawatan di 8lements Spa dengan pendekatan Asian Wellbeing Sensibility, hingga menyantap makanan sehat racikan Chef Edy Rakhmat di Refresh All-day Dining yang bersumber dari petani dan produsen lokal.
Tak ada itinerary kaku. Tak ada checklist turis. Yang ada adalah kesediaan hotel untuk tidak mengatur dan memberi tempat bagi tamunya untuk menemukan ritme hidupnya sendiri.
“Kadang tamu datang hanya untuk membaca buku di Kopi Zop. Atau sekadar diam di tepi plunge pool setiap kamar, mendengarkan jangkrik. Dan itu sah. Bahkan dirayakan,” ujar Marketing Communication Manager Garrya Bianti Yogyakarta, Fredeswinda Sukma Dwi Jayanti kepada Pandangan Jogja, Jumat (11/7).

Tentang Garrya Bianti Yogyakarta
Terinspirasi dari bunga musim dingin yang mekar dalam sunyi, Garrya adalah bagian dari Banyan Group, grup perhotelan global yang merayakan regenerasi, keberlanjutan, dan ketenangan sebagai kemewahan baru. Garrya hadir untuk mereka yang tidak ingin berlibur tetapi ingin pulang pada dirinya sendiri.
Follow @garryabianti di Instagram dan biarkan feed-nya membawa kamu masuk ke dunia di mana waktu melambat, dan keheningan menjadi bahasa paling jujur dari pemulihan.
“In silence, we find not the absence of noise, but the presence of ourselves.” – Garrya Philosophy