
BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali melakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) tahap ketiga di Provinsi Riau. Langkah ini merupakan bagian upaya preventif memperpanjang masa tanggap darurat bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah berlaku sejak 22 Juli 2025.
Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menjelaskan analisis BMKG menunjukkan curah hujan rendah, suhu udara tinggi, dan kelembapan lahan gambut yang kritis menjadi pemicu utama meningkatnya risiko karhutla hingga awal Agustus. Situasi ini menuntut respons cepat, tepat, dan terkoordinasi agar kebakaran tidak semakin meluas.
“Operasi ini hanya bisa berhasil jika data cuaca yang akurat dipadukan dengan eksekusi cepat di lapangan. Setiap sorti penerbangan harus tepat waktu dan tepat sasaran,” kata Seto, Selasa (12/8).
Data lapangan mencatat, sepanjang Juli 2025 telah terjadi 142 kejadian karhutla di Riau dengan luas terbakar 1.768,01 hektare. Hanya dalam sembilan hari pertama Agustus, jumlahnya melonjak menjadi 93 kejadian dengan luas 1.150,60 hektare.
OMC di Riau dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap pertama dilakukan pada 1–12 Mei 2025, tahap kedua pada 21 Juli–9 Agustus 2025, dan tahap ketiga yang dimulai 10 Agustus 2025 dan akan berlangsung selama 10 hari. Pada tahap ketiga ini didukung penuh pembiayaan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
Pelaksanaan OMC mengacu pada kesepakatan kerja sama yang ditandatangani antara Ditjen Penegakan Hukum Kemenhut dan Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG pada 25 Juli 2025. Kesepakatan ini menjadi landasan teknis dan hukum untuk memastikan operasi berjalan sesuai standar dan target.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan di Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Thomas Nifinluri pentingnya langkah ini sebagai wujud kesiapsiagaan negara dalam mengantisipasi potensi bencana. Menurutnya, OMC adalah bagian dari strategi pencegahan yang efektif dilakukan dan harus dilakukan secara kolaboratif lintas sektor.
“Kita tidak hanya memadamkan api, tapi memastikan lahan tetap basah sehingga api tidak punya peluang untuk tumbuh,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Operasional Modifikasi Cuaca BMKG Budi Harsoyo menjelaskan OMC tahap ketiga difokuskan pada awan-awan potensial di wilayah gambut kritis. Di mana tim memprioritaskan area dengan tingkat kelembapan rendah dan potensi pembakaran tinggi, sehingga setiap tetes hujan buatan memberi dampak maksimal.
“Tidak semua awan bisa dipicu hujan. Kondisi atmosfer harus ideal, dan di sinilah koordinasi harian dengan tim pemantau cuaca menjadi sangat penting,” ujarnya.
Hingga 12 Agustus 2025, total penyemaian telah dilakukan empat kali sorti dengan menghabiskan 3.200 kilogram bahan semai NaCl dan difokuskan pada wilayah bergambut untuk menaikkan kelembapan tanah dan muka air gambut hingga di atas –40 cm.
BNPB menyebutkan, operasi ini menggabungkan strategi udara dan darat secara terpadu. BMKG memantau cuaca harian dan mengarahkan pesawat ke awan potensial, sementara tim darat memastikan distribusi air dari hujan yang dihasilkan turun di lokasi rawan kebakaran.
OMC tidak hanya difokuskan untuk memadamkan titik api, tetapi juga mencegah kebakaran baru. Dengan membasahi lahan gambut, mengisi embung dan kanal, serta menjaga kelembapan tanah, risiko api merambat dapat ditekan sejak dini. (H-4)