
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sapriyanto Refa, mengusulkan agar bukti petunjuk dan keterangan ahli dihapus dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP).
Hal itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (17/6).
Refa mengatakan, Peradi hanya mengusulkan empat alat bukti dalam KUHAP yang baru, yakni keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa.
Menurutnya, bukti petunjuk berbahaya karena bisa dijadikan alat satu-satunya untuk menghukum seseorang tanpa didukung bukti lain yang kuat.
“Bukti petunjuk ini sangat berbahaya karena bukti petunjuk ini adalah sebuah alat bukti yang akan digunakan dalam rangka menambah keyakinan Hakim, ketika alat bukti yang lain tidak menunjukkan siapa pelakunya maka bukti petunjuk berbahaya ini,” kata Refa.
Ia menambahkan, penyidik seharusnya membuktikan tindak pidana lewat alat bukti yang konkret, bukan petunjuk yang sifatnya bisa ditafsirkan luas. Selain itu, Refa juga mengkritik posisi keterangan ahli yang dinilainya kerap tidak dianggap jika diajukan oleh penasihat hukum.

“Ahli ini tidak ada kejelasan ketika kita menangani suatu perkara pidana kalau ahli itu diajukan oleh penyidik oleh penuntut umum itu pasti diterima oleh Hakim tapi ketika ahli diajukan oleh penasihat hukum pasti tidak diterima kalaupun diterima itu biasanya ada kepentingan ketika dia ingin membenarkan baru diambil tapi ketika dia tidak membenarkan itu tidak diambil,” ucapnya.
Menurutnya, sebaiknya keterangan ahli cukup diberikan secara tertulis sebagai bukti surat tanpa perlu dihadirkan di persidangan.
Menanggapi usulan tersebut, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyampaikan pandangan berbeda. Ia menilai keterangan ahli masih sangat dibutuhkan, apalagi dalam perkara yang melibatkan disiplin ilmu tertentu.
“Kita perlu juga menghadirkan ahli yang mengatakan ahli bahasa, ahli budaya juga yang menafsirkan bahwa yang di maksud tersangka ini bukan sebagai mana yang dituduhkan,” ujar Habiburokhman.
Ia mencontohkan kasus Ahok beberapa tahun lalu, di mana para ahli dari kedua belah pihak memberi argumentasi yang kuat sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan status perkara.
“Karena kalau keterangan surat, itu kan benda mati surat pak, kita ini mau mengambil kesimpulan atas peristiwa tersebut dan juga kita direpotkan lagi ambil kesimpulan baca surat lagi nanti baca surat interpretasinya bisa lain-lain lagi bisa macam-macam lagi,” imbuhnya.
Habiburokhman juga mengingatkan pentingnya pengakuan terhadap hak penasihat hukum untuk menghadirkan ahli di persidangan, sebagaimana juga dimiliki oleh penyidik dan jaksa.

Minta Batasi PK
Selain membahas soal alat bukti, Peradi juga mengusulkan revisi terkait mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Refa menilai, terlalu banyak alasan PK bisa memperpanjang proses hukum dan menghambat kepastian hukum.
“Kami ingin mengusulkan kepada DPR RI agar ini dibatasi karena terlalu banyak juga alasan peninjauan kembali akan mengakibatkan terlalu panjang mata rantai penanganan sebuah perkara yang kedua lama menunggu kepastian hukum dan yang ketiga mengulang-ulang itu lagi,” ujarnya.
Peradi mengusulkan agar alasan PK hanya dibatasi pada adanya novum (bukti baru) atau putusan yang saling bertentangan. Namun, untuk novum, Refa meminta agar tidak dibatasi waktu dan bisa diajukan maksimal dua kali.
“Ini berkaitan dengan rasa keadilan bisa saja ketika dia mengajukan novum yang pertama yang menganggap ini belum menguntungkan lalu kemudian dia menemukan menopang baru lagi itu bisa saja menghasilkan sesuatu rasa keadilan bagi mereka,” ucapnya.
Ia juga menekankan bahwa PK hanya boleh diajukan oleh terpidana, bukan penuntut umum.