Pengamat pertanian dari CORE, Eliza Mardian, mengingatkan dampak negatifnya terhadap ketahanan pangan dalam negeri. Menurutnya, gempuran produk impor yang murah tersebut tentu akan diminati konsumen dan produsen industri pengolahan karena mereka mendapatkan harga yang kompetitif. Namun di sisi lain, petani atau peternak dinilai akan kalah bersaing.
“Karena petani (dan) peternak kita belum disiapkan secara matang untuk bisa bersaing dengan petani AS skala besar, karena petani AS lebih efisien berkat teknologi dan modal yang kuat,” ucap Eliza kepada kumparan, Minggu (20/7).
Menurutnya, imbas dari gempuran produk impor murah bisa menjalar hingga menyebabkan penurunan harga di pasar domestik. Hal ini membuat produk petani dan peternak lokal kurang diminati oleh konsumen, sehingga berpotensi menurunkan pendapatan mereka.
Eliza menuturkan penurunan pendapatan ini dapat berdampak lebih luas, seperti melemahnya daya beli dan berkurangnya minat petani dan peternak untuk terus berproduksi. Jika kondisi ini berlanjut, kata Eliza, program swasembada pangan dikhawatirkan terancam karena produsen dalam negeri enggan menanam akibat kalah bersaing.
“Kita semakin sulit mengurangi ketergantungan terhadap impor. Jika hal ini tidak ditangani dan tidak ada strategi untuk meningkatkan daya saing pertanian di dalam negeri, kita akan semakin terlena dengan impor yang lebih murah dan kebijakan akan berat ke konsumen yang memang ingin harga yang lebih kompetitif,” ujar Eliza.
Kemudian, Eliza juga menilai pembelian dalam jumlah besar ini berpotensi mengubah arah perdagangan komoditas pangan Indonesia. Produk seperti gandum yang selama ini banyak diimpor dari Australia, Kanada, Ukraina, Argentina, dan Rusia, kemungkinan besar akan dialihkan sebagian besar pasokannya ke AS. Hal serupa juga terjadi pada jagung, yang sebelumnya didominasi impor dari Argentina, Brasil, dan Pakistan.
“Jika Indonesia tidak memenuhi komitmen pembelian, ada kemungkinan tarif kembali dinaikkan oleh AS. Sementara di sisi lain, petani kita sudah cukup tertekan dengan membanjirnya produk impor," terang Eliza.
Menurutnya, situasi ini cukup rumit. Di satu sisi Indonesia memang membutuhkan pasar ekspor seperti AS, tetapi di sisi lain juga dituntut membeli produk pertanian AS. “Ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor AS jauh lebih besar dibanding ketergantungan AS terhadap produk pertanian kita,” kata Eliza.
Untuk mengurangi tekanan terhadap petani dan menjaga keberlanjutan produksi pangan nasional, Eliza menyarankan pemerintah mempercepat upaya peningkatan daya saing, termasuk memperkuat sisi hulu dan merevisi kebijakan perdagangan.
Menurutnya, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah menambah jumlah non-tariff measures (NTM) bagi produk pertanian impor. NTM bisa menjadi semacam filter, agar produk luar hanya masuk jika memenuhi standar ketat sesuai regulasi dalam negeri.
“AS saja menerapkan 92 NTM untuk 5.207 produk. Sementara Indonesia baru menerapkan 64 NTM untuk 3.622 produk,” tutur Eliza.
Sementara itu, Pengamat Pertanian dan Pangan Syaiful Bahari, meminta pemerintah berhati-hati dalam menerapkan pembebasan tarif impor produk pertanian asal AS. Pasalnya, dampak dari kesepakatan dagang ini bisa berbeda-beda tergantung pada jenis komoditas yang dibuka pasarnya.