REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kasus tewasnya seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas mobil taktis Brimob saat aksi demonstrasi di Jakarta Rabu (28/8/2025) menuai sorotan publik. Salah satu pakar hukum pidana sekaligus Wakil Rektor IV Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Septa Candra memberikan tanggapan tegas terkait peristiwa ini dari perspektif hukum pidana dan hak asasi manusia (HAM).
Klasifikasi Tindak Pidana dalam Kasus Ini
Menurut Septa, peristiwa tersebut jelas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana serius. Dia mengatakan lantaran terjadi dalam aksi demonstrasi, seharusnya peristiwa tersebut tidak terjadi.
"Aparat yang bertugas wajib menaati SOP pengendalian massa yang telah diatur. Namun, berdasarkan rekaman video yang beredar, terlihat seolah-olah mobil rantis tersebut sengaja menabrak pengemudi ojol hingga korban meninggal dunia setelah sempat dibawa ke rumah sakit,” kata Septa.
Ia menjelaskan perbuatan tersebut dapat dikenakan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Menurut saya, ini termasuk tindak pidana dengan sengaja merampas nyawa orang, sehingga dapat dijerat Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Unsur kesengajaan (dolus) terlihat dari tindakan pelaku yang tetap melaju meskipun ada kerumunan massa,” jelasnya.
Kelalaian atau Kesengajaan?
Saat ditanya apakah tindakan ini masuk kategori kelalaian atau kesengajaan, Septa memberikan analisis mendalam. “Kalau dilihat dari video, ini bisa dikatakan sengaja. Karena jelas terlihat ada orang di depan, massa banyak, dan mobil itu melaju kencang. Mungkin alasan mereka adalah menghindari amukan massa, tetapi tetap saja ada korban yang terlindas,” katanya.
Ia menambahkan, jika dikatakan kelalaian, hal itu sulit dibenarkan. “Menurut saya, ini lebih kepada akibat emosi dan tidak mampu mengendalikan amarah. Jadi sulit dikatakan sebagai kelalaian murni,” tambahnya.
Pasal yang Dapat Diterapkan
Septa menegaskan kasus ini tidak termasuk kecelakaan lalu lintas. “Ini bukan kecelakaan lalu lintas, karena terjadi dalam konteks unjuk rasa. Jadi undang-undang lalu lintas tidak relevan. Penerapan yang tepat adalah KUHP, terutama Pasal 338 tentang pembunuhan. Jika dipaksakan masuk kategori kelalaian, maka Pasal 359 KUHP bisa digunakan,” jelasnya.
Namun, ia menegaskan, fakta bahwa korban meninggal akibat tindakan tersebut harus menjadi dasar proses hukum yang serius. “Sekarang faktanya ada nyawa yang hilang. Maka ini bisa masuk kategori sengaja (dolus) atau setidaknya kelalaian (culpa),” paparnya.
Perspektif HAM: Hak Hidup Tidak Bisa Digugat
Dari sisi HAM, dosen Fakultas Hukum UMJ ini menilai bahwa peristiwa ini sebagai pelanggaran serius. “Ini jelas pelanggaran HAM. Hak hidup adalah hak fundamental yang dilindungi oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak hidup termasuk kategori non-derogable rights, artinya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,” kata Septa.
Ia menambahkan, demonstrasi adalah hak yang dilindungi undang-undang. “Aksi unjuk rasa dilindungi oleh Undang-Undang, sehingga tidak boleh ada tindakan represif atau kekerasan dari aparat. Apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Polisi seharusnya menjaga keamanan sesuai SOP, bukan melakukan tindakan brutal,” ujar dia.
Kasus ini harus menjadi perhatian serius penegak hukum dan pemerintah agar tidak terulang di kemudian hari. Septa menegaskan proses hukum harus berjalan transparan, pelaku diberi sanksi sesuai ketentuan, dan aparat wajib mengutamakan prinsip HAM dalam setiap pengamanan demonstrasi.