
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Wisnu Setiadi Nugroho menyoroti tumpang tindih antara distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) melalui pedagang tradisional dengan operasi pasar yang digelar langsung di tingkat kelurahan dan RW. Jika pemerintah terlalu aktif melakukan penjualan langsung, katanya, pedagang pasar yang selama ini menjadi jalur distribusi alami beras justru terpinggirkan.
“Operasi pasar yang terlalu sering bersifat ad hoc dan berisiko melemahkan keberlanjutan distribusi rakyat. Negara seharusnya hadir memperkuat institusi pasar rakyat sebagai tulang punggung stabilisasi jangka panjang,” ujarnya dalam keterangan yang dilansir dari laman resmi UGM, Kamis (28/8).
Terkait keterlibatan TNI dan Polri dalam distribusi beras SPHP, Wisnu berpendapat keberadaan aparat memang penting sebagai pengawas distribusi untuk menutup celah penyimpangan. Namun, ia mengingatkan agar peran aparat tidak terlalu dominan di jalur distribusi.
“Distribusi dan perdagangan sebaiknya tetap menjadi domain pedagang pasar, sementara aparat berfungsi sebagai penegak hukum dan pengawas aturan. Dengan begitu, ekosistem perdagangan tidak terganggu,” jelasnya.
Sebagai rekomendasi, Wisnu menekankan pentingnya perbaikan logistik nasional untuk menurunkan biaya transportasi dan memastikan stok beras Bulog tersebar merata. Ia juga mendorong penguatan regulasi dan pengawasan agar negara hadir sebagai pengatur dan pengawas, bukan sebagai distributor yang terlalu aktif.
Selain itu, ia menyarankan adanya mekanisme digital yang lebih adaptif. Misalnya dengan menyediakan jalur pemesanan sederhana seperti melalui WhatsApp atau bantuan petugas pasar.
“Pemerintah juga perlu memastikan peran pedagang tradisional tetap terjamin sebagai jalur distribusi utama beras SPHP serta memberikan perlindungan kepada kelompok rentan agar margin pedagang kecil tidak semakin tertekan,” paparnya.
Wisnu pun berharap agar pemerintah lebih menekankan perbaikan logistik dan kelembagaan distribusi beras sehingga stabilisasi harga dapat tercapai secara berkelanjutan.
“Negara idealnya hadir sebagai pembuat kebijakan yang adil dan penegak institusi, bukan sebagai pesaing dalam distribusi. Dengan begitu, stabilisasi harga tidak hanya menjawab kepentingan konsumen, tetapi juga memastikan petani dan pedagang kecil terlindungi,” pungkasnya. (E-3)