
BESARAN tunjangan rumah dan transportasi anggota DPRD NTT serta DPRD kabupaten/kota tengah menuai kritik publik. Besaran tunjangan tersebut dinilai tidak sejalan dengan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan NTT, Darius Beda Daton mengatakan aturan mengenai gaji dan tunjangan anggota DPRD sebenarnya telah diatur dalam regulasi nasional, mulai dari Peraturan Pemerintah, Permendagri hingga PMK tentang Standar Biaya Umum (SBU).
Namun, masalah muncul ketika pemerintah daerah dan DPRD tidak sepenuhnya mempedomani aturan tersebut. “Pemda menunjuk penilai untuk survei harga sewa rumah dan kendaraan sebagai dasar perhitungan tunjangan. Tapi, angka yang ditetapkan dalam Pergub justru jauh melampaui hasil survei itu,” kata Darius Sabtu (6/9).
Ia mencontohkan, hasil survei penilai menunjukkan harga sewa rumah di Kota Kupang paling tinggi Rp4,5 juta per bulan dan biaya transportasi Rp18 juta per bulan. Namun, Pergub NTT Nomor 22 Tahun 2025 menetapkan tunjangan rumah sebesar Rp23,6 juta dan transportasi Rp28–31 juta per bulan.
Menurutnya, angka tersebut memang bisa saja sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, tetapi belum mempertimbangkan fakta bahwa masih ada sekitar 1,1 juta warga NTT yang hidup miskin.
Darius mengingatkan, kelebihan pembayaran tunjangan berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Jika tidak dikembalikan, bisa menjadi tindak pidana korupsi berjemaah. Pengalaman DPRD Kota Kupang periode lalu menunjukkan hal itu,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya revisi Pergub NTT Nomor 22 Tahun 2025 dan peraturan bupati di kabupaten/kota untuk menyesuaikan kembali besaran tunjangan. “DPR RI saja sudah menurunkan tunjangan mereka. Kita di daerah bisa meniru langkah itu,” tegasnya.
Lebih jauh, Darius menegaskan bahwa kepatuhan pejabat negara pada regulasi, asas kewajaran, dan kepantasan menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik.“Kepercayaan publik adalah modal utama membangun daerah. Tanpa dukungan publik, akan muncul apatisme dan rendahnya kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah,” pungkasnya. (PO/M-3)