
NARASI pemberantasan korupsi dalam Pidato Presiden Prabowo pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 15 Agustus 2025 dinilai baik.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, M.A., menegaskan bahwa janji tersebut akan menjadi “omon-omon” alias omongan belaka jika tidak dibarengi tindakan nyata.
Menurut dia, pidato Presiden Prabowo tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. “Faktanya, korupsi masih terjadi di mana-mana, dari pusat hingga desa. Pidato seorang pemimpin harus dibuktikan dengan tindakan konkret, bukan sekadar retorika,” terang dia dalam siaran pers, Sabtu (16/8).
Ridho menekankan pentingnya keteladanan dari pejabat negara, mulai dari presiden, wakil presiden, hingga para menteri. Menurutnya, sikap antikorupsi harus ditunjukkan melalui perilaku sehari-hari, terlebih di tengah kondisi rakyat yang sulit mencari pekerjaan.
“Rakyat ini sedang susah, sementara banyak pejabat justru rangkap jabatan sebagai komisaris. Di sisi lain, potensi sumber daya alam kita sangat luar biasa, tetapi korupsi terjadi di mana-mana. Sektor ini menjadi lahan empuk bagi pejabat untuk mengeruk keuntungan pribadi,” tegasnya.
Menanggapi pengakuan Presiden bahwa praktik korupsi terjadi di setiap eselon birokrasi, Ridho mengapresiasi kejujuran itu. Namun, ia menegaskan bahwa pengakuan saja tidak cukup. Harus ada upaya yang konsisten dan terukur untuk mengatasinya.
“Pengakuan jujur penting, kita apresiasi. Tapi jangan berhenti pada permintaan maaf. Korupsi masih marak, bahkan di tingkat desa,” katanya, sambil menyinggung temuan PPATK soal dana desa yang mengalir ke rekening pribadi kepala desa.
Menurut Ridho, langkah pertama yang paling konkret jika Presiden Prabowo serius memberantas korupsi adalah mengembalikan marwah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu bisa dilakukan dengan merevisi Undang-Undang KPK hasil revisi 2019 yang dinilainya melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
“Kembalikan Undang-Undang KPK seperti semula agar KPK kembali bertaring. Jangan sampai lagi-lagi menjadi alat kekuasaan,” tegasnya.
Dampak Efisiensi
Terkait klaim pemerintah yang berhasil mengidentifikasi dan menyelamatkan Rp300 triliun dari APBN yang rawan diselewengkan, Ridho menilai langkah itu baru menyentuh permukaan. Ia khawatir efisiensi di satu bidang justru menumpuk potensi korupsi di bidang lain, seperti Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Ini hanya memindahkan efisiensi di sini, tapi tidak efisien di situ,” jelasnya.
Sebagai penutup, Ridho menantang Presiden Prabowo untuk membuktikan komitmen antikorupsi dengan tiga langkah: mengembalikan marwah KPK, mengungkap kasus korupsi satu per satu, dan memperberat hukuman bagi para koruptor.
“Hukuman koruptor di Indonesia masih terlalu ringan. Contoh kasus korupsi triliunan rupiah hanya dihukum 4,5 tahun penjara. Hukuman yang tidak seimbang ini tidak akan membuat jera, sehingga koruptor akan terus bermunculan,” pungkasnya.