
Di depan Wisma Mandiri, Jakarta Pusat, deru mesin bor tak henti memecah tanah setiap hari. Sejak proyek MRT fase 2A dimulai di lokasi itu, kawasan yang dulunya hanya lintasan pejalan kaki kini berubah menjadi titik sibuk yang penuh aktivitas, baik dari dalam pagar proyek maupun di luarnya.
Salah satu yang paling sibuk adalah Adi, penjual kopi keliling bersepeda atau yang biasa dikenal dengan sebutan “starling”. Gerobaknya sederhana, beberapa termos, kotak plastik berisi sachet kopi dan teh, serta kantong-kantong plastik untuk pelanggan buru-buru. Tapi sejak ada proyek MRT, omzetnya ikut naik.
“Yang beli kebanyakan orang proyek. Pekerja, pengawas, sopir alat juga. Kalau jam 9-10 pagi rame banget, kadang belum jam 11 termos udah habis,” ujarnya kepada kumparan, Kamis (17/6).
Cerita Adi mungkin terdengar sederhana. Tapi, kita bisa melihat bagaimana proyek MRT yang berlangsung di bawah tanah, nyatanya ikut menggerakkan ekonomi warga di atasnya.
Proyek pembangunan MRT Jakarta fase 2 membentang sepanjang sekitar 11,8 kilometer dari kawasan Bundaran HI hingga Ancol Barat. Pembangunan fase 2 terdiri dari dua tahap, yaitu fase 2A dan fase 2B.
Fase 2A terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah (Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota) dengan total panjang jalur sekitar 5,8 kilometer. Sedangkan Fase 2B terdiri dari dua stasiun bawah tanah (Mangga Dua dan Ancol) dan satu depo di Ancol Marina dengan total panjang jalur sekitar enam kilometer. Fase 2B sedang dalam tahap studi kelayakan. Pekerjaan Fase 2 A ditargetkan rampung seluruhnya pada akhir 2029.

Pembangunannya bukan hanya tentang rel, stasiun, dan kereta. Tapi juga tentang transformasi kota secara menyeluruh. Jakarta tidak lagi hanya membangun jalan untuk mobil pribadi, melainkan membangun kota yang bisa diakses siapa saja termasuk dengan berjalan kaki, naik MRT, dan beraktivitas di ruang publik.
Menurut Weni Maulina, Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta (Perseroda), proyek ini memiliki dampak ekonomi yang sangat luas, termasuk dari sisi properti, tenaga kerja, dan kawasan komersial.
“Jadi, ada sekitar Rp 242,2 triliun property value, kemudian sekitar 34 ribu unit yang bisa terbentuk, ini potensi ya, kita lihat ini potensi,” kata Weni dalam diskusi MRT Jakarta di Wisma Nusantara, Kamis (17/7).
Tak hanya itu, ia juga memproyeksi terdapat 640 ribu lapangan kerja, 73,9 hektare ruang publik terbuka. Serta 149 kilometer jalur pedestrian yang dapat mendorong pertumbuhan kawasan secara terintegrasi.
“Dengan meningkatnya TOD atau kawasan, dengan adanya transit-transit tadi, seperti titik-titik stasiun, terjadilah peningkatan pengembangan-pengembangan kawasan,” ungkapnya.
Namun, membangun MRT di tengah kota tua dan kawasan sensitif bukan perkara mudah. Weni menyebut, salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan fase 2A adalah kondisi lapangan yang sangat kompleks, mulai dari tanah lunak, keterbatasan ruang kerja, hingga keharusan menjaga bangunan cagar budaya.
“Tantangan ya, khususnya yang di fase 2A itu memang lebih banyak di kompleksitas teknisnya ya di lapangan. Jadi pertama memang dari sisi tipe tanahnya juga itu tanah lunak. Kemudian area kerjanya juga sangat sempit. Ada bangunan-bangunan cagar budaya dan juga ada bangunan yang seperti VVIP, Ring 1. Sehingga sangat kompleks, sangat sensitif,” kata dia.

Untuk mengatasi tantangan itu, tim MRT Jakarta menerapkan sejumlah pendekatan teknis cermat. Termasuk metode box jacking, yaitu mendorong struktur beton dari satu sisi ke sisi lain tanpa menggali dari atas jalan.
“Pesan dari pemerintah, pesan dari kementerian sekretariat negara, tidak boleh mengganggu jalan protokol di Medan Merdeka Barat. Jadi kita bikin di bawah tanah seperti ini,” ungkapnya.
Tak hanya teknis, proyek ini juga menyentuh aspek sejarah. Di kawasan Gajah Mada–Hayam Wuruk, tim konstruksi menemukan saluran kuno peninggalan kolonial Belanda. Sebelum menggali lebih dalam, tim MRT Jakarta menggandeng arkeolog dari Universitas Indonesia untuk melakukan penggalian secara ilmiah.
“Kami juga mendapatkan temuan saluran terakota, yang ini dibangun pada zaman Belanda. Jadi pada saat pembangunan ini kami juga mengundang teman-teman arkeolog dari UI, di mana mereka sebelum kami melakukan penggalian yang masif, mereka lebih dulu melakukan test-fit dengan cara arkeologi,” katanya.

Temuan itu kini diamankan dan dicatat sebagai bagian dari perjalanan pembangunan kota. Tidak sekadar mengejar kecepatan, tapi juga menghormati sejarah yang pernah tertanam di bawah tanah Jakarta.
Meski tantangan teknis terus berdatangan, pembangunan MRT Jakarta fase 2A tetap melaju. Hingga 25 Juni 2025, progres keseluruhan proyek telah mencapai 49,99 persen, sedikit lebih cepat dari target rencana 48,54 persen.
Weni Maulina, mengatakan progres tersebut meliputi segmen 1 rute Bundaran HI-Harmoni sebesar 73,46 persen dan segmen 2 rute Harmoni-Kota dengan realisasi progres 40,11 persen.
Adapun rincian progres proyek tersebut setiap paket investasi yakni paket kontrak CP 201 (civil works) Bundaran HI-Harmoni mencapai 88,41 persen, CP 202 (civil works) Harmoni-Mangga Besar mencapai 53,84 persen, CP 203 (civil works) Mangga Besar-Kota sebesar 74,79 persen, dan CP 205 (Railway System & Track Work) Bundaran HI-Kota 17,32 persen.
Sementara paket CP 206 (Rolling Stock) Bundaran HI-Kota masih dalam proses kajian skema pengadaan ulang, serta CP 207 (Automatic Fare Collection System) Bundaran HI-Kota masih dalam proses tender. Weni memastikan keduanya masih sesuai dengan jadwal dan tidak mengganggu target operasional.
Weni menjelaskan, MRT Fase 2A segmen 1 diharapkan dapat beroperasi pada tahun 2027, sementara segmen 2 ditargetkan bisa beroperasi mulai tahun 2029. Hingga kini, realisasi investasinya mencapai Rp 12 triliun.
Adapun total investasi proyek MRT Jakarta Fase 2A mencapai sekitar Rp 25,3 triliun, yang berasal dari dana pinjaman kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jepang.