
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh uji materiilnya setelah menyimpulkan bahwa diperlukan kajian lebih lanjut karena redenominasi dapat berdampak pada banyak aspek, salah satunya terkait psikologi masyarakat seperti yang dilansir Kumparan tanggal 18 Juli 2025. Tulisan ini akan menelisik lebih dalam mengenai aspek tersebut.
Redenominasi sendiri diartikan sebagai penyederhanaan dan penyetaraan nilai rupiah. Redenominasi tidak merugikan masyarakat, karena hanya angka nolnya saja yang dihilangkan.
Sebagai gambaran, sebelum redenominasi diterapkan, uang Rp20.000 setara dengan semangkuk mi ayam, kemudian setelah redenominasi (pemotongan nilai rupiah dengan menghilangkan tiga angka nol di belakang) uang Rp20.000 tadi berubah menjadi Rp20, namun masih setara dengan semangkuk mi ayam. Jadi, redenominasi itu memotong angka nol sebuah mata uang, namun tidak memotong daya belinya.
Kebijakan ini diambil dengan suatu tujuan. Bank Indonesia (BI) dalam pernyataan resminya dilansir dari CNN Indonesia menyampaikan bahwa dengan kebijakan ini diharapkan agar perhitungan dan akuntansi sistem pencatatan menjadi lebih sederhana, karena nominal yang akan ditulis menjadi lebih sedikit. Selain itu, diharapkan juga agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan dunia terhadap rupiah, karena yang sebelumnya $1=Rp15.000 berubah menjadi $1=Rp15. Pengurangan angka nol dapat membuat kedua mata uang tersebut terlihat setara.
Selain itu, perlu diketahui bahwa Rupiah termasuk dalam salah satu mata uang yang memiliki pecahan uang kertas terbesar di dunia. Sebagai perbandingan pecahan terbesar di Indonesia adalah Rp100.000, sedangkan pecahan terbesar dolar adalah $100 dan Euro dengan €500.
Namun, kebijakan ini tidak luput dari konsekuensi potensial yang menanti. Salah satu konsekuensi yang dapat dilihat dari sisi psikologis, yaitu money illusion. Singkatnya, money illusion merupakan kebiasaan orang dalam melihat daya beli uang setara dengan jumlah nominal yang mengikutinya. Harga barang A yang awalnya Rp12.000, lalu jika redenominasi diterapkan, maka harganya akan berubah menjadi Rp12. Pengurangan tiga angka nol dalam sekilas tidak terlihat berpengaruh, namun bagaimana jika itu adalah sebuah barang atau jasa?
Semisal, Iphone terbaru awalnya seharga Rp15.000.000, kemudian setelah redenominasi berubah menjadi Rp15.000. Harga baru setelah redenominasi jauh terlihat lebih murah dan terjangkau. Akhirnya, sebagian orang merasa kalau harganya memang semakin murah dan merasa bahwa mereka semakin kaya, sehingga mereka memiliki keinginan untuk membeli jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum redenominasi diterapkan. Namun, faktanya bahwa harga tersebut tidak berubah dan masih setara dengan Rp15.000.000 seperti sebelumnya.
Gambaran sebelumnya membuat kekhawatiran terkait redenominasi dapat meningkatkan konsumsi. Penelitian berjudul "Evaluating Financial Performances of Turkish Manufacturing Companies Before and After Redenomination" tahun 2018 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penjualan yang signifikan setelah redenominasi diterapkan, karena money illusion terjadi. Penelitian ini membuktikan potensi bahaya money illusion benar dapat terjadi.

Di saat yang bersamaan kita mengetahui kondisi ekonomi nasional saat ini sedang menghadapi tantangan. Mengutip dari CNBC Indonesia menunjukkan bahwa angka deflasi meningkat yang artinya masyarakat mengalami pengurangan daya beli. Lebih lanjut, angka pemudik tahun ini juga mengalami penurunan yang menjadi refleksi ekonomi nasional saat ini yang memprihatinkan. Jadi, jika kebijakan ini diterapkan tanpa edukasi yang masif tentu akan berdampak pada masyarakat itu sendiri yang dapat berakibat fatal pada ekonomi secara keseluruhan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa money illusion sangat erat kaitannya dengan redenominasi. Di Indonesia sendiri, redenominasi dalam masyarakat umum dapat dipahami. Namun, penelitian berjudul "Money Illusions: Post-Redenomination Shopping Behavior" tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keberagaman status ekonomi dan sosial.
Penelitian tahun 2018 itu juga menunjukkan bahwa dengan keberagaman tersebut membuat redenominasi dapat gagal dipahami. Kelompok dengan pendidikan yang kurang sangat berpotensi mengalami money illusion. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok yang tidak bekerja, Ibu Rumah Tangga, Petani, Pensiunan, dan pekerjaan yang memerlukan skill rendah. Hal ini terjadi sebagai akibat dari ketidakpahaman mereka dengan tujuan dan maksud redenominasi.
Bahkan di kota besar sekalipun masih ditemui ketidakpahaman terkait redenominasi. Penelitian berjudul Persepsi Kebijakan Redenominasi Rupiah di Kalangan Masyarakat Kota Makassar tahun 2022 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakatnya tidak setuju dengan redenominasi. Fenomena ini terjadi sebagai dampak dari ketidaktahuan mereka mengenai implikasi kebijakan tersebut.
Langkah untuk mencegah terjadinya money illusion sebetulnya telah terbukti secara ilmiah baru-baru ini. Penelitian berjudul "Money Illusion, financial Literacy and Implications of Self-Perceptions" tahun 2020 menunjukkan bahwa semakin tinggi financial knowledge seseorang, maka semakin mungkin untuk terhindar dari money illusion. Artinya, ketika seseorang memiliki pemahaman keuangan yang baik, maka potensi bias dalam melihat mata uang akan menurun.
Selain itu, sejarah mencatat bahwa di Indonesia redenominasi pernah diterapkan di tahun 1965. Namun, kebijakan itu berakhir gagal dan inflasi meroket 650%. Kebijakan itu diambil ketika situasi ekonomi dan politik sedang tidak stabil. Situasi dan kondisi saat ini tentu jauh berbeda dengan sebelumnya, namun ketakutan yang sama akan dampak redenominasi kemungkinan masih terbawa hingga sekarang.
Terakhir, untuk menghindari money illusion sebenarnya langkahnya cukup sederhana. Cukup memahami maksud dan tujuan serta implikasi redenominasi sebetulnya sudah lebih dari cukup. Namun, dengan tantangan demografi yang dimiliki Indonesia membuat hal itu tidak mudah dilakukan. Maka, peran pemerintah tidak dapat dinafikan untuk sosialisasi dan pendekatan yang berbeda sekaligus tepat pada tiap kelompok masyarakat tertentu terkait redenominasi. Agar sejarah tidak terulang kembali.