
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi perhatian masyarakat setelah Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk segera mendorong pengesahan regulasi tersebut pascaaksi massa selama sepekan terakhir di sejumlah daerah.
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yeni Widowaty mengatakan tidak ada alasan bagi pemerintah dan DPR untuk terus menunda pengesahan beleid yang telah diusulkan, terlebih lagi beleid itu sudah lama dibahas.
“RUU ini sudah dibicarakan sejak 2018, bahkan kajiannya sudah sangat panjang. Jadi tidak ada kesan tergesa-gesa. Justru yang menjadi pertanyaan, apa lagi yang harus ditunggu?” ujar Yeni dalam keterangannya, Kamis (4/9).
Menurut Yeni, salah satu poin penting dalam RUU ini adalah cakupannya yang tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi. Dalam pasal awal rancangan disebutkan bahwa perampasan dapat dilakukan terhadap seluruh aset hasil tindak pidana, tanpa harus selalu dikaitkan dengan kasus korupsi.
“Kalau aset itu terbukti berasal dari tindak pidana, meski sudah dicuci sedemikian rupa, tetap bisa dirampas. Jadi bukan hanya korupsi, melainkan tindak pidana apa pun,” jelasnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa kehadiran RUU ini akan memperkuat kepastian hukum sekaligus mempercepat pemulihan kerugian negara. Mekanisme perampasan aset yang diatur akan mencakup proses penelusuran, pemblokiran, penyitaan, hingga pelelangan aset untuk mengembalikan kerugian negara.
Hanya dengan payung hukum yang jelas, lanjut Yeni, aparat penegak hukum akan memiliki dasar yang lebih kuat untuk mengembalikan aset hasil kejahatan kepada negara.
Menurutnya, RUU Perampasan Aset juga menghadirkan prosedur yang lebih terstruktur, dari hulu hingga hilir. Di samping itu, Yeni juga mengakui potensi adanya celah hukum dalam RUU Perampasan Aset.
Kendati demikian, ia juga menekankan bahwa hal itu tidak boleh mengurangi urgensi pengesahan regulasi ini sebagai dasar hukum yang kokoh.
Lebih jauh, Yeni juga menyoroti pasal terkait kelembagaan pengelola aset yang ada dalam RUU ini. Dikatakan bahwa beleid ini mengatur pembentukan Lembaga Pengelola Aset (LPA) di bawah Kementerian Keuangan.
Yeni menjelaskan, LPA nantinya berfungsi menyimpan dan mengelola aset hasil penyitaan maupun perampasan. Ia juga menilai pembentukan lembaga baru inilah yang berpotensi menimbulkan tarik-menarik kepentingan di legislatif.
“Sebelumnya, aset disimpan oleh kejaksaan, pengadilan, atau KPK. Kalau nanti ada lembaga baru, bisa jadi itu yang menimbulkan perdebatan panjang di kalangan pembuat kebijakan,” imbuhnya.
Lebih jauh, Yeni mengungkapkan bahwa para pakar hukum sudah lama memberi masukan, baik melalui seminar maupun forum publik. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan pembuat undang-undang.
Menurutnya, dengan adanya instruksi Presiden untuk segera disahkan, DPR tidak lagi punya alasan untuk menunda dan harus mempercepat proses pembahasannya. “Presiden sudah mendorong. Sekarang tinggal keberanian DPR untuk mengetok palu,” tandasnya. (Dev/P-2)