Bendera Palestina berkibar di tengah hiruk pikuk Kota Bandung. Aksi teatrikal turut mewarnai pengibaran tersebut. Aktivitas ini sudah menjadi rutinitas Wanggi (30) dan kawan-kawannya setiap pekan selama lebih dari satu tahun terakhir dalam Solidaritas Seni untuk Palestina.
Seniman pantomim itu mulai memikirkan ide gerakan ini sejak terjadinya serangan pertama di Gaza pada Oktober 2023. Ia mulai mencatat apa saja isi pikirannya yang muncul ketika melihat berbagai citraan visual serangan di Gaza yang ia lihat. Pada Februari 2024 ia mulai mematangkan idenya, hingga akhirnya 2 Maret 2024 tercetuslah Solidaritas Seni untuk Palestina.
“Dengan berbagai macam banyak bertanya, banyak baca tentang Konferensi Asia Afrika, kemudian bertemu dengan pakar-pakarnya. Nah terus jatuh lah pada titik di mana di 2 Maret itu kita buat lah Solidaritas Seni untuk Palestina,” kata Wanggi, Minggu (24/08).
Pada awalnya, Wanggi, bersama tiga seniman lainnya melakukan aksi berjalan menyeret pakaian di kaki sejauh 3,6 kilometer, mulai dari Tugu Asia Afrika hingga Jalan Garut, Kota Bandung. Ide ini muncul dari salah satu kawannya—Hanfa, yang terinspirasi dari penampilan di Brickstone.
“Kalau saya waktu itu memang idenya nyeret pakaian mundur ke belakang seperti narik korban. Hanfa bilang pakai kaki aja, karena ada performance di Brickstone, dia memakai sepatu kemudian menyeret pakaian itu serupa penjajahan,” ucap Wanggi.
Semenjak saat itu, Wanggi dan seniman lainnya mulai rutin berkegiatan setiap minggunya. Mulai dari aksi satu jam hormat kepada bendera Palestina, hingga berkolaborasi menggelar pameran bertema Palestina.
“Karena memang pada akhirnya kita harus terus mencari siasat strategi gerakan apa yang mesti kita bisa memantik kesadaran meluas,” ujar Wanggi.
Bersolidaritas hingga Palestina Merdeka
Seni dan budaya menurut Wanggi terlibat dalam gerakan apa pun, termasuk sejarah. Terlebih lagi, kata dia, banyaknya peristiwa sejarah yang belum terungkap.
“Harus punya sikap dan punya posisi untuk bersuara,” ucapnya.
Ada pun tujuan utama dari gerakan yang ia usung adalah seni bisa menjadi ruang perjuangan untuk siapa pun. Tak terpaku dengan nama, ketika Palestina merdeka, gerakan ini tidak akan berakhir dan akan berlanjut untuk gerakan solidaritas lainnya.
“Solidaritas seni ini di belakangnya bisa berganti nama solidaritas seni untuk siapa yang masih terjajah,” ujar Wanggi.
Meskipun namanya Solidaritas Seni, tak hanya seniman, siapa pun boleh bergabung pada gerakan tersebut, termasuk ibu rumah tangga. Kuncinya adalah bersolidaritas, Wanggi meyakini solidaritas adalah akar dari kemanusiaan.
“Semuanya bisa melibatkan diri, bukan hanya orang yang berkecimpung di dunia seni. Jadi memang semuanya belajar di situ belajar menata, mengolah, mengorganisir, memobilisasi,” jelas Wanggi.
Tentunya banyak tantangan yang harus Wanggi dan kawan-kawan hadapi dala...