MASYARAKAT Kabupaten Pati, Jawa Tengah menggelar unjuk rasa besar-besaran pada Rabu, 13 Agustus 2025. Puluhan ribu orang mengikuti demonstrasi yang berlangsung di depan Kantor Bupati Pati itu untuk menuntut mundurnya Bupati Pati Sudewo.
Tuntutan mundur untuk Sudewo datang setelah sejumlah kebijakannya yang kontroversial. Di antaranya keputusan sang politikus Partai Gerindra untuk menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga mengubah ketentuan hari sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua kebijakan tersebut kini telah dibatalkan oleh Sudewo setelah mendapat protes luas dari masyarakat. Namun, sejumlah warga Pati tetap melakukan unjuk rasa untuk menuntut Sudewo mundur. "Lengserkan Sudewo," kata Teguh Istiyanto, salah satu koordinator Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Lantas, bagaimana mekanisme memakzulkan kepala daerah saat ada tuntutan dari masyarakat?
Pemberhentian seorang kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atau UU Pemda. Dalam Pasal 78, ada tiga sebab kepala daerah atau wakilnya bisa berhenti menjabat, yaitu karena meninggal, permintaan sendiri atau diberhentikan.
UU Pemda mengatur kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya jika melanggar sejumlah ketentuan. Di antaranya jika tidak bisa melaksanakan tugas secara berturut-turut selama enam bulan, melanggar sumpah jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah, hingga melakukan perbuatan tercela. Selain itu, kepala daerah bisa dimakzulkan jika menggunakan dokumen atau keterangan palsu sebagai persyaratan saat masa pencalonan.
Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan pemakzulan adalah jika kepala daerah menimbulkan keresahan di antara masyarakat. "Kepala daerah dalam membuat kebijakan tidak boleh meresahkan masyarakat," kata dia saat dihubungi Tempo pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Menurut Djohan, larangan membuat kebijakan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat juga tertulis dalam UU Pemda. Jika terbukti menimbulkan keresahan dan melanggar hukum, kepala daerah dapat dimakzulkan setelah melalui mekanisme pemberhentian.
Mekanisme tersebut, kata Djohan, adalah melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diuji ke Mahkamah Agung. DPRD bisa melakukan pemanggilan kepala daerah dan menyelidiki dugaan pelanggaran hukum dalam kasus-kasus di mana masyarakat menuntut mundurnya kepala daerah.
Mekanisme itu dapat dewan lakukan dengan menggunakan hak angket dan hak interpelasi. Dalam hal ini, menurut Djohan, DPRD mesti menjaring aspirasi masyarakat yang menuntut kepala daerahnya mundur karena dugaan pelanggaran sumpah jabatan atau ketentuan hukum lainnya.
Jika DPRD memutuskan memberhentikan kepala daerah setelah proses tersebut, maka keputusan DPRD akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Mahkamah akan menggelar persidangan dalam waktu paling lambat 30 hari untuk menentukan apakah sang kepala daerah melanggar sumpah jabatan dan pemberhentiannya memiliki dasar yang kuat.
Jika MA mengabulkan perkara tersebut, maka DPRD akan kembali menggelar rapat paripurna untuk menetapkan pemakzulan kepala daerah. Rapat paripurna tersebut harus dihadiri setidaknya tiga perempat anggota DPRD. Keputusan pemakzulan juga harus mendapat persetujuan dua pertiga anggota dewan yang hadir.
Setelah itu, keputusan DPRD akan diajukan ke presiden melalui Kementerian Dalam Negeri. Kepala daerah kemudian diberhentikan melalui surat keputusan yang ditandatangani presiden.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan upaya pemakzulan harus dimulai dari DPRD. "Tidak bisa langsung dari pemerintah pusat," kata Armand, Rabu.
Namun, jika tidak ada inisiatif dari DPRD untuk melakukan mekanisme pemberhentian saat ada dugaan pelanggaran oleh kepala daerah, pemerintah pusat bisa ikut mendalami perkara tersebut. Dalam UU Pemda, mekanisme itu harus melalui sidang di MA dan dapat berujung pemberhentian jika kepala daerah terbukti melanggar ketentuan.
Meski begitu, Armand menilai mekanisme pengambilalihan perkara pemakzulan oleh pemerintah pusat tidak cocok dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi. Dia menyebut sebaiknya pemerintah pusat berkoordinasi dengan DPRD untuk menempuh mekanisme pemberhentian kepala daerah.
Dalam demo Pati hari ini, Bupati Pati Sudewo sempat muncul dengan menaiki kendaraan taktis atau rantis milik polisi. Sudewo yang mengenakan kemeja putih dan songkok hitam keluar lewat pintu kap atas mobil yang mirip tank tersebut. Mobil itu bergerak hingga halaman kantor Bupati Pati.
Dia kemudian menyapa pengunjuk rasa menggunakan pengeras suara. "Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya," kata politikus Partai Gerindra itu.
Namun, kedatangan Sudewo disambut lemparan botol air mineral. Petugas keamanan lantas melindungi Sudewo memakai perisai. Sudewo kemudian masuk kembali ke dalam mobil.