
Ekonom memproyeksi Purchasing Managers Indeks (PMI) manufaktur Indonesia bisa kontraksi hingga November 2025. PMI manufaktur Indonesia telah mengalami kontraksi selama 3 bulan berturut-turut sejak April 2025.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan PMI manufaktur baru akan menggeliat di level ekspansi pada Desember 2025.
“PMI sampai sepanjang tahun ini sangat mungkin kontraktif di bawah 50 terus, kecuali Desember,” kata Faisal dalam gelaran CORE Midyear Economic Review di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (24/7).
Faisal menjelaskan S&P Global menghitung PMI manufaktur berdasarkan beberapa indikator, termasuk supply chain atau rantai pasok, produksi, ketersediaan produk, permintaan hingga tenaga kerja.
Menurut dia, permintaan menjadi hal yang cukup diperhitungkan dalam kondisi manufaktur, khususnya di Indonesia adalah demand dari dalam negeri. Sebab mayoritas industri lokal lebih banyak mengandalkan pasar domestik ketimbang ekspor.
Sementara menurut dia, demand industri untuk kuartal II hingga kuartal IV masih cenderung mendapat tekanan. “Sehingga manufaktur itu pasti akan agak-agak tiarap dalam kondisi seperti itu,” jelasnya.
Terlebih saat ini menurut dia, industri dalam negeri utamanya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) juga tengah menghadapi tantangan banjirnya produk impor dari Tiongkok.
Kemudian dari sisi ekspor selain porsinya kecil, Indonesia juga tidak bisa berharap banyak pada kinerja ekspor saat ini. Faisal menyoroti meskipun Amerika Serikat (AS) menurunkan tarif bea masuk dari semula 32 persen jadi sebesar 19 persen, namun belum tentu bisa mengerek kinerja ekspor.
Dia melihat, banyak subsektor industri manufaktur yang bergantung pada pasar AS, seperti TPT yang juga dikenai tarif dasar sebelum tarif resiprokal 19 persen.
“Tarif dasar untuk produk tekstil Indonesia itu 5-15 persen tambahkan tarif resiprokalnya 19 persen. Jadi 24 persen sampai sekian persen. Belum tadi harga di negara asal, belum logistik,” tuturnya.
“Jadi menyelamatkan ekspornya gak tersampai, menyelamatkan impornya juga, kompetisinya makin besar di industri tekstil dan produk tekstil,” jelasnya.

Sektor yang berkemungkinan akan menjadi penyokong pertumbuhan industri manufaktur adalah industri makanan minuman (mamin). Dia memproyeksi industri mamin masih akan terus ekspansi hingga akhir tahun.
Hanya saja, pertumbuhan positif industri mamin dan beberapa industri lain tidak akan cukup membuat industri manufaktur secara agregat mencatatkan ekspansi.
“Jadi agregatnya kalau cuma hanya makanan-minuman dan mungkin sebagian kecil manufaktur yang agak bagus, ya keseluruhan kontraksi, sangat mungkin gitu ya,” katanya.
Meski demikian, kontraksi diperkirakan berakhir pada November 2025 dan industri manufaktur Indonesia akan mulai menggeliat pada Desember 2025.
“Kenapa Desember? Karena menjelang Nataru, dalam negeri itu ada dorongan. Biasanya sih naik 50, tapi mungkin gak tinggi-tinggi dari 50,” ujar dia.
Sebelumnya berdasarkan survei S&P Global pada April 2025, PMI manufaktur mulai mencatatkan kontraksi yaitu sebesar 46,7. Lalu Mei 47,4 dan Juni 46,9.