
POLEMIK pemungutan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menyasar berbagai pelaku usaha seperti restoran dan hotel menjadi kontroversi lantaran terjadi simpang siur mekanismenya. Pasalnya, banyak pelaku usaha yang merasa pemungutan royalti berjalan secara semena-mena.
Salah satu yang disoroti adalah LMK memungut royalti dengan menarik mundur sejak Undang-Undang Hak Cipta 2014 disahkan, tanpa meninjau ulang bagaimana suatu lagu diperdengarkan di area komersial seperti restoran dan hotel.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi B Sukamdani pun mengkritik kinerja LMK dan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) yang selama ini tidak transparan dan tidak memberikan aturan yang jelas. Salah satunya dialami oleh para pengusaha hotel Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang kaget dan bingung dengan kemunculan surat tagihan dari LMKN terkait royalti musik. Tagihan itu datang secara mendadak usai ramainya sengketa royalti yang terjadi dengan Mie Gacoan di Bali.
“Memang gaya preman. Mereka, LMK ataupun LMKN itu menarik mundur, tagihannya itu ditarik mundur sejak UU Hak Cipta berlangsung. Namun, namanya kontrak itu kan harus ada invoice, perjanjian berlaku, itu tidak ada,” ujar Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi B Sukamdani saat ditemui Media Indonesia di Kantor Pusat PHRI di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (13/8).
“Modelnya benar-benar ugal-ugalan. LMK maupun LMKN tidak ada perwakilan di Lombok. Jadi teman-teman anggota PHRI marah, minta dijelaskan. Jangan karena berlindung di balik UU, UU yang dibuat juga tidak sempurna, ini yang harus diluruskan. Reaksi negatif masyarakat sangat tinggi. Saya coba perhatikan tidak ada yang berada di pihak LMKN,” ungkap Haryadi.(M-2)